Pelajaran tentang Kehidupan dari Uganda dan Seisinya

Kisah saya di Uganda yang sempat saya abadikan dalam bentuk tulisan dan di-publish (lagi) di Share My Stories, Pengajian Karisma Manchester.

*****

Share My Stories #21, 6 April 2016 

Benua hitam, dunia ketiga. Konon Afrika bukanlah sebuah tempat yang menarik untuk dikunjungi. Bagaimanapun, bagi saya, kebahagiaan melihat dunia yang baru tak bisa ditukar dengan apapun. Mata kuliah bernama Development Fieldwork membawa saya pada kesempatan yang langka: menginjakkan kaki di Uganda, The Pearl of Africa.

Afrika di mata saya adalah wild life: singa memakan antelope, buaya memakan zebra, dan sekumpulan gajah hidup damai bersama sekumpulan kuda nil. Namun saya menyadari bahwa gambaran itu adalah gambaran Benua Afrika di National Geographic, media wajib bagi para pencinta binatang. 

Sementara Afrika bagi development researcher adalah objek studi yang seksi: mulai dari zaman kolonialisme di mana seluruh benua menjadi koloni negara-negara Eropa hingga zaman sekarang di mana daerah Afrika, khususnya Sub-Sahara Afrika, disebut sebagai negara tertinggal. World Bank bahkan mengkategorikan sebagian besar negara di Sub-Sahara Afrika, termasuk Uganda, dalam kategori low income countries.

Dengan persiapan kesehatan yang cukup matang setelah menerima suntikan lima macam vaksin, meminum pil malaria setiap hari, dan siap membawa mosquito repellant ke mana-mana, kami berangkat ke Uganda pada dini hari tanggal 12 Maret 2016. Senang? Iya. Bingung? Sudah pasti, sesungguhnya saya tidak tahu-menahu harus melakukan riset apa di sana. Tapi rasa bahagia untuk melihat dunia baru sudah cukup mengalahkan segala macam kekhawatiran akan kondisi kehidupan akademik.

Kampala, Jakarta tahun 1980-an

Kami tiba di Bandara Entebbe pada malam hari waktu setempat. Hal pertama yang saya syukuri selain karena kami bisa sampai dengan selamat adalah perjumpaan kembali dengan udara hangat yang sudah lama saya rindukan. Dari Entebbe, kami langsung menuju Kampala, ibu kota Uganda, untuk beristirahat. Sepanjang jalan, saya menatap hal-hal yang mengingatkan saya akan Indonesia: warung, pasar tradisional, dan angkot. Feels like home…

Keesokan harinya, saya bersemangat menemui matahari. Iya, matahari. Sebagai anak daerah tropis, saya menyukai sinar matahari. Makanya saya sengaja tidak membawa payung atau topi agar kulit saya bisa terkena sinar matahari. Walaupun pada akhirnya saya menyesali keputusan tersebut karena semakin lama, saya merasa matahari di Uganda sama panasnya dengan matahari di pesisir pantai Indonesia. Walhasil, kulit saya berubah menjadi lebih gelap.

Kampala mirip seperti Jakarta di tahun 1980-an, begitu pendapat Mariana Octaviana Silaen yang selalu setia bersama saya sepanjang perjalanan selama 12 hari ini. Jalanan di pusat kotanya memang tidak semeriah segitiga Sudirman, Thamrin, dan Imam Bonjol, tapi kemacetan dan kesemrawutan Kampala mirip dengan Jakarta. Sementara itu, saya menyamakan Kampala dengan kota-kota di Kalimantan karena cuaca panas, tanah merah, dan debunya.

Kemacetan Kampala
Pangkalan boda-boda alias ojeknya Uganda
Hoima, Minyak yang Mengubah Segalanya

Setelah menghabiskan empat malam di Kampala, kami mahasiswa sub-jurusan Environment, Climate Change, and Development berangkat ke Hoima. Penemuan ladang minyak di Hoima mengubah mata pencaharian masyarakat lokal. Alih-alih terserap ke dalam lapangan kerja minyak, mereka harus kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian akibat penggusuran.

Kami bertemu dengan masyarakat yang tinggal di pengungsian akibat rumah dan lahan mereka digusur secara paksa oleh perusahaan minyak. Kabarnya penggusuran terjadi dini hari pada bulan Agustus 2014 saat mereka sedang tertidur, tiba-tiba “tentara” yang bersenjatakan senapan dan gas air mata menyerang mereka. Beberapa orang meninggal dunia akibat peristiwa ini dan mereka pun harus tinggal di pengungsian ini. 

Saat pertama kali datang, anak-anak menyambut kami dengan lagu yang tidak akan pernah saya lupakan, “We are happy to see you today...”. Sebagian dari anggota tim kami terharu mendengar sambutan ini. Namun bagi saya, hal yang mengharukan justru terjadi saat mereka menyanyikan lagu kebangsaan Uganda sebelum berinteraksi dengan kami. Melihat mereka dengan khusyuk menyanyikan lagu kebangsaan, entah kenapa saya merasa terharu dan mulai tak bisa mengendalikan air mata. Ada pertanyaan, “Kenapa kalian begitu mencintai negara yang membiarkan kalian hidup seperti ini?” Serta ada juga kerinduan menyanyikan Indonesia Raya khususnya lirik, “Tanahku negeriku yang kucinta….”

"We are happy to see you today" dari anak-anak di Hoima
Saya dan beberapa rekan yang lain sempat mendengarkan curahan hati kaum perempuan di komunitas ini. Dari sinilah saya menyadari kalau perhatian perempuan selalu berpusat ke anggota keluarga yang lain serta lebih jangka panjang. Mereka lebih banyak mengeluhkan kondisi anak-anaknya yang kini tidak bersekolah lagi. Tidak adanya lapangan pekerjaan memaksa mereka untuk tidak berpenghasilan dan pada akhirnya tidak bisa membayar sekolah. Mirisnya, beberapa anak perempuan yang tidak lagi bersekolah akhirnya memutuskan untuk mencari uang dengan menjadi kupu-kupu malam di kota. Beberapa dari mereka, di usia remaja, kemudian harus mengandung dan melahirkan anak yang akhirnya malah menambah beban keluarga.

“Lalu dipergunakan untuk apa informasi yang kalian dapatkan dari kami?” adalah pertanyaan pamungkas dari mereka untuk kelompok kami. Mendapatkan pertanyaan itu, saya hanya bisa menundukkan kepala, membiarkan teman saya yang lain untuk menjawabnya. “Kami akan membuat laporan mengenai kondisi kalian dan berusaha menyampaikan ini ke publik agar mereka tahu kondisi kalian,” begitu jawab teman saya. Meskipun sesungguhnya kami sudah tahu kalau kami tidak mampu memberikan bantuan yang berarti untuk mereka. Mungkin, kami hanya menjadikan mereka sebagai objek studi yang diperdebatkan panjang lebar di arena akademik namun perdebatan kami tidak sama sekali mengubah kondisi hidup mereka. Sungguh, saya tidak pernah merasa sebersalah ini.

Plang unik di sisi danau: Awas ada Kuda Nil dan Buaya (asal jangan buaya darat)
Masindi, Perbedaan Nasib Petani

Dari Hoima, kami bergerak ke arah utara. Masindi menjadi kota persinggahan kami selanjutnya. Di kota ini, kami akan banyak bertemu dengan para petani. Menariknya, tidak semua petani di Masindi memiliki nasib yang sama. 

Komunitas petani pertama yang kami temui sangat miskin. Bencana banjir menghadang mereka beberapa bulan sebelumnya. Mereka kini hidup serba kekurangan: tidak ada rumah, tidak ada lahan, dan tidak ada pekerjaan. Mereka bahkan harus meminum air yang sama dengan yang diminum oleh binatang. Mirisnya, belum ada bantuan yang datang baik dari pihak pemerintah maupun lembaga nonpemerintah. Kami adalah kelompok pertama yang mendatangi wilayah tersebut setelah berbulan-bulan terjadinya banjir. Salah satu teman saya bertanya apa yang akan mereka lakukan jika bantuan tidak kunjung datang. Jawaban mereka membuat kami semua lesu, “Mungkin kami akan mati.”

Keesokan harinya kami bertemu dengan petani “kelas menengah”. Kami bertandang ke rumah sederhana milik Emanuel, narasumber kami. Meskipun bekerja sendirian di lahan seluas 13 acres (sekitar 5 hektar), petani ini sudah mendapatkan berbagai kemudahan untuk meningkatkan produksi pertaniannya, mulai dari akses ke bantuan kredit hingga akses ke pasar. Emanuel sudah mampu menghasilkan keuntungan dari produksi pertaniannya, bahkan sudah mampu menyisihkan pendapatannya untuk menabung di koperasi petani. “Saya suka petani ini,” ujar teman yang duduk di sebelah saya. Tentu saja karena akhirnya setelah berhari-hari, kami tidak lagi mendengar kisah sedih dari narasumber.

Emanuel dan istrinya di halaman rumah mereka
Di hari yang sama, kami bertemu dengan petani skala besar, sebuah perusahaan bernama Joseph Iniatitives. Tidak perlu ditanyakan betapa untungnya perusahaan ini. Kedekatan dengan pemerintah Uganda memudahkan mereka untuk menggarap lahan seluas 12.000 acres (hampir 5000 hektar) dan bahkan mengekspor 80 persen dari total produksinya. Inilah potret kesenjangan dan ini benar-benar masih terjadi di kolong langit.

Murchison Fall National Park, Salah Satu Tujuan Hidup yang Tuntas

Saya merasa harus bersyukur sedemikian rupa ketika saya berkesempatan untuk melakukan safari di Murchison Fall National Park. Ini sungguh sebuah kesempatan langka, apa yang sejak kecil hanya bisa saya lihat di televisi, kini bisa saya rasakan sendiri. Melakukan safari di Afrika adalah salah satu tujuan hidup saya yang akhirnya tuntas. Kadang kita memang harus konyol soal menentukan tujuan hidup, toh dalam kasus saya akhirnya tercapai juga kan? Hahaha.

Kami harus menginap di tengah taman nasional dan berada sangat dekat dengan alam liar. Siang harinya sudah ada seekor babon yang mencuri makanan salah satu teman saya. Namun, keseruan hidup di alam liar belum berhenti sampai di situ. Malam harinya, dua ekor kuda nil dengan santainya berjalan-jalan di area penginapan kami. Salah satu di antaranya bahkan “menginvasi” tenda salah seorang teman kami. Saya dan teman-teman yang sedang asyik main kartu langsung bergegas berkemas dan mencoba kabur jikalau ada kuda nil semakin dekat ke arah kami.

Nile River Ferry yang berujung pada Murchison Fall
Sunrise yang memanjakan mata
Pulang...

Keseruan fieldwork ini belum berhenti di sana. Tiga hari sebelum jadwal pulang kami ke Manchester, Brussels Airport dibom. Padahal kami berangkat dan pulang menggunakan Brussels Airlines dan harus transit di Brussels, Belgia. Tidak ada kejelasan nasib kepulangan kami sampai hari-H jadwal kepulangan kami.

Kami seharusnya berangkat ke Brussels malam itu pukul 21.45 waktu setempat. Kami pun sudah tiba di bandara sekitar jam 18.00 waktu setempat. Namun, Brussels Airlines akhirnya mengubah tiket kami menjadi pukul 00.55 dini hari dengan penerbangan ke Zurich. Karena jadwal penerbangan kami masih cukup lama, pihak bandara belum mengizinkan kami melakukan check in. Akhirnya kami duduk-duduk di lantai luar bandara sambil melakukan kegiatan apapun yang bisa dilakukan untuk mengusir rasa bosan. 

“Feels like we are being abandoned,” kata salah satu teman saya. Entah kenapa bukannya kesal, saya malah tertawa-tawa saja berada dalam situasi ini. Padahal jika saja saya memilih untuk mengeluh, sesungguhnya banyak yang bisa dikeluhkan akibat ketidakjelasan jadwal penerbangan ini. Tapi Uganda dan seluruh masyarakat di sana mengajarkan saya untuk tidak mengeluh dalam situasi apapun. Masih banyak nikmat Allah yang harus saya syukuri. Semoga dengan perjalanan ini urat mengeluh saya sudah putus selamanya karena sungguh bersyukur itu mahal harganya.

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Kini saya sudah kembali ke Manchester dan menghadapi realita kehidupan saya sebagai mahasiswa program master. Ketika mengetikkan kisah ini, saya kembali teringat pada nasib orang-orang di sana. Saya sedih karena tidak bisa melakukan apa-apa. Mungkin hingga nanti saya akan mendapatkan manfaat atas pendidikan saya, mereka tetap berada pada kondisi yang sama. Mulai sekarang sepertinya saya harus ikhlas jika pada akhirnya saya tidak bisa memperbaiki kondisi hidup mereka. Meski demikian, setidaknya harus ada satu orang yang kondisinya berubah menjadi semakin baik setelah saya mendapatkan pendidikan yang tinggi dan setidaknya orang itu adalah saya sendiri.

(*)

Komentar