Catatan Road Trip Scoland: Mencari Kebahagiaan Di Jalan

Sudah lama tidak menulis di blog bukan berarti saya absen menulis. Selain aktif memproduksi esai (ya iyalah), saya masih sempat menulis catatan dari bebeapa perjalanan saya. Memang tidak di-publish di blog, melainkan di platform lain bernama Share My Stories milik Pengajian Karisma Manchester. Ini adalah salah satu tulisan saya yang dimuat di sana. Selamat membaca!

*****

Share My Stories #12, 6 Januari 2016
“Jangan lupa bahagia...”
adalah sebuah kalimat yang sedang jamak disebutkan untuk mengingatkan seluruh manusia agar berbahagia. Sering kali memang kita lupa berbahagia. Bahkan saking lupanya untuk berbahagia, kita sampai harus mencari kebahagiaan itu di jalan. Inilah yang saya dan enam teman lainnya (termasuk seorang balita) lakukan sekitar dua minggu yang lalu. Setelah berlelah-lelah dengan urusan kuliah, kami memutuskan untuk berangkat road trip dengan rute: Manchester – Edinburgh – Inverness – Isle of Skye – Glasgow – Blackpool – Manchester. 

Apalagi yang kami cari selain kebahagiaan? Begitu pentingnya kebahagiaan itu, hingga kami rela berangkat dini hari dari Manchester. Belum lagi mobil yang dimuat-muatin untuk bertujuh plus barang-barang bawaan kami yang seperti habis menjarah supermarket. Semua dilakukan untuk mencari kebahagiaan di jalan.

Edinburgh, siapa yang tidak jatuh cinta padanya?

Pagi-pagi, saya terbangun dari tempat duduk saya di baris belakang mobil. Melihat ke kanan ke kiri, masya Allah, indah sekali. Suasana perkotaan dengan bangunan-bangunan tua nan megah serta landscape berbukit-bukit cukup menghibur saya yang sudah mulai bosan dengan Manchester yang, katakanlah, “terlalu metropolitan”. Jadi ini dia si kota yang terkenal indah itu: Edinburgh!

Edinburgh Castle
Konon seluruh sudut kota Edinburgh akan terlihat indah di foto. Sepertinya saya setuju. Meskipun bukan memori foto yang saya pakai untuk mengabadikan indahnya Edinburgh, melainkan memori otak saya. Biar saya pandang dulu kota ini lekat-lekat karena suatu saat nanti saya akan mampu menceritakan ulang indahnya Edinburgh. Siapa pun pasti jatuh cinta pada Edinburgh.
 
Sudut kota Edinburgh yang cantik
Kami sempat ditemani oleh seorang kenalan yang kuliah di Edinburgh dan dia menunjukkan Arthur’s Seat, bukit tertinggi di Edinburgh, kepada kami. Lalu dia mengiming-imingi saya dengan berkata, “Bisa naik ke sana loh, Mbak! Pemandangannya bagus dari atas.” Sayangnya gelap terlalu cepat menyambut. Inilah risiko melakukan perjalanan di kala musim dingin yang mataharinya pelit menunggu. Ah ya, sepertinya tidak cukup menghabiskan waktu seharian di Edinburgh. Lain kali jika diberi kesempatan untuk mengunjungi kota ini, saya harus naik Arthur’s Seat.

Edinburgh dari atas Calton Hill
Inverness, nostalgia majalah masa kecil

Kota tujuan kami selanjutnya adalah Inverness. Sejujurnya saya baru pertama kali mendengar tentang kota ini tanpa tahu harus ke mana saat tiba di Inverness. Lalu, saya baru sadar kalau kota ini adalah kota yang paling dekat dengan danau super terkenal itu, Loch Ness. 

Saya tidak pernah menyangka akan diberi kesempatan untuk melihat langsung Loch Ness. Waktu saya kecil, saya berlangganan sebuah majalah anak-anak. Dari majalah inilah saya mengetahui Loch Ness yang terletak di Skotlandia. Saya mengenang Loch Ness karena mitos monster Nessie yang katanya mendiami danau besar ini. Entah kebaikan apa yang sudah saya lakukan hingga Allah yang Maha Pemurah mentakdirkan saya untuk melihat sendiri keindahan Loch Ness.

Loch Ness dan Urquhart Castle
Urquhart Castle dan penampakan saya dari belakang
Tidak ada tempat yang lebih tepat untuk menikmati keindahan Loch Ness selain Urquhart Castle. Reruntuhan kastil ini sedikit banyak mengingatkan saya akan Candi Ratu Boko di Yogyakarta. Yang membuat berbeda, selain ada danau bernama Loch Ness di pinggir kastil, Urquhart Castle juga memiliki menara utama yang bisa dinaiki (tentu saja untuk foto-foto, hehe). Kalau berkunjung ke Urquhart Castle, jangan lupa menyaksikan film berdurasi 10 menit yang diputar oleh pihak pengelola kastil. Bagian akhir film mampu membuat saya bertepuk tangan, meskipun akhirnya saya menyadari kalau yang tepuk tangan dengan gembira di ruangan itu hanya saya seorang.

Isle of Skye, antara ekspektasi dan realita

Puas dengan Inverness, kami menuju Isle of Skye. Beberapa bulan yang lalu, teman sejurusan saya memperkenalkan saya dengan pulau ini. Katanya sambil membuka google image untuk Isle of Skye, “This is the best part of Scotland. You have to go there!” Saya yang sudah bosan dengan kastil dan bangunan abad pertengahan langsung bahagia mendengar ada pulau dengan pemandangan alam yang indah di Skotlandia. 

Ekspektasi saya berkata kalau saya bisa naik-turun bukit seperti saat liburan di alam Indonesia. Ketika sampai di Isle of Skye, saya 100% salah musim jika ingin melakukan aktivitas fisik di sini. Karena berbentuk pulau, angin di Isle of Skye terasa lebih kencang menampar kami. Lagipula di antara rombongan kami ada seorang balita yang tidak mungkin diajak melakukan aktivitas fisik. 

Meskipun realita tidak sejalan dengan ekspektasi, Isle of Skye memang sama indahnya dengan foto-foto yang pernah dicarikan oleh teman saya di google. Kami seketika saja teringat dengan Middle Earth, tempat fiksi di dalam novel dan film The Lord of the Rings. Sayang sekali keinginan untuk sedikit “manjat-manjat” belum tersalurkan pada kesempatan ini. Semoga masih ada kesempatan lain.

Isle of Skye
Glasgow dan Blackpool, Kembali Ke Kota

Pada malam terakhir road trip, kami menginap di Glasgow. Setiap pagi saya selalu punya kebiasaan membuka tirai jendela kamar. Betapa sedihnya ketika saya membuka tirai di penginapan kami di Glasgow, pemandangan yang tersaji adalah konstruksi bangunan. Kami sudah kembali ke kota. 

Glasgow terkesan sama dengan kebanyakan kota besar di Inggris yang sudah metropolitan, meskipun beberapa bangunan lama masih dipertahankan. Landscape naik turun seperti di Edinburgh juga ada di Glasgow. Kami membuat pilihan yang tepat saat kami mengunjungi Cathedral. Sempat tertipu dengan tampak depan Cathedral yang kecil, ternyata Cathedral Glasgow terlihat megah ketika dilihat dari atas Necropolis, sebuah kuburan kuno yang entah bagaimana bukannya mengerikan malah layak untuk dikunjungi. 



Saya dan skuad di depan Glasgow City Chambers
Sore harinya kami melanjutkan perjalanan ke Blackpool, destinasi terakhir kami sebelum bertemu lagi dengan Manchester. Tiba di Blackpool pada malam hari, kota pinggir pantai ini sudah sepi sekali. Sepanjang jalan, hampir seluruh pertokoan sudah tutup. Selepas makan malam, kami menyempatkan diri untuk berfoto di depan The Blackpool Tower sambil menahan dingin saat diterpa angin kencang di pesisir pantai.

The Blackpool Tower
Manchester, sudahkah menemukan kebahagiaan? 

Kami tiba di Manchester sekitar jam 10 malam. Semua orang berwajah kelelahan setelah perjalanan selama empat hari. Tapi selelah apapun, kami merasa bahagia. Kata orang melakukan perjalanan adalah sebuah investasi kenangan. Kapan lagi kami tidak mengeluh meskipun harus sempit-sempitan di mobil, kapan lagi kami harus berbagi kamar seadanya dengan orang lain, kapan lagi kami harus sekreatif mungkin memasak makanan dari bahan dan peralatan yang tersedia, kapan lagi kami harus piknik di pinggir jalan di bawah suhu nol derajat celcius, dan ratusan kenangan lainnya yang tidak akan kami dapatkan jika kami tidak mencarinya di jalan. Mungkin inilah mengapa sebuah perjalanan bisa membuat orang yang melakukannya merasa bahagia.

Saya telah menemukan kebahagiaan di jalan, tapi saya juga bahagia bisa kembali pulang. Malam itu saya kembali berbaring di atas kasur saya. Sambil memandang ruangan yang sudah lama tidak saya gunakan, saya ternyata menemukan kebahagiaan dari hal-hal yang sederhana. Saya merasa bahagia karena ternyata kamar saya masih rapi, saya bahagia karena bantal saya terasa nyaman, saya bahagia karena bisa mengabari keluarga saya kalau saya sudah kembali pulang dengan selamat, saya bahagia bisa kenal lebih dekat dengan teman-teman seperjalanan, saya bahagia karena sahabat-sahabat lama saya sibuk menanyakan ke mana saja saya beberapa hari belakangan ini sampai tidak muncul di grup chatting. Kemudian saya sadar kebahagiaan itu tidak perlu dicari, kebahagiaan itu diciptakan sendiri. Jadi, jangan lupa bahagia.

(*)


Foto oleh: Dwiputra Ahmad Ramdani


Komentar