Manchester, Bukan Hanya Sekedar Kuliah* (1): Menjaga Sholat

Yang membangunkan kamu sholat subuh itu bukan alarm, tapi keimananmu.
Saya tergopoh-gopoh menyambut alarm ketiga yang berdering setiap pagi. Panik melihat jendela, "Udah terang belum nih? Oh my GOOOOOOD..."

Saya bukan tipe orang yang susah bangun pagi. Biasanya satu alarm sudah cukup untuk membangunkan saya yang agak kebo ini. Tapi di Manchester yang adem, saya butuh tiga alarm untuk melepas belenggu pertama (kalau ingin tahu haditsnya klik ini, disclaimer: agak horor tapi memang begitulah adanya. Jangan mau kalah sama setan horor ini tiap pagi.).

Perjuangan sholat subuh di musim semi sangat mengesankan. Jika sebelumnya di musim dingin saya bahkan bisa bangun jam enam pagi dan menyadari kalau waktu subuh belum masuk, di musim semi saya harus bangun pagi-pagi sekali untuk sholat subuh. Sebagai contoh, sekarang waktu sholat subuh menurut Muslim Pro adalah pukul 3.15 am. Sungguh sebuah perjuangan.
Orang yang paling kuat di dunia, selain yang mampu menahan amarahnya, adalah orang yang mampu bangun subuh di awal waktu.
Makanya saya akan menandai abang yang masih sholat subuh di masjid hingga sekarang. Apalagi saat musim panas. Sungguh suami idaman (ini apa kok malah curhat).

Sempat beberapa kali gagal bangun subuh, saya pun memaksakan diri untuk tidur lebih awal. Jika di musim dingin saya bisa stay di Alan Gilbert Learning Commons (tempat belajar paling ngehits se-Manchester Raya) hingga jam 1 pagi, kini saya memilih jadi anak manis yang pulang dari Algil (cara teman-teman Indonesia menyebut tempat ini) jam 10 malam. Pokoknya saya mau sholat subuh, meskipun saya harus mengorbankan waktu kongkow bersama beberapa teman penghuni Algil.

Walaupun ujung-ujungnya tetap kalah sama si setan. Duh. Ini semangatnya masih diganjar pahala ga ya?

Setelah ngobrol dengan Ustadz Muhammad Zulfikar Rakhmat (yang mengaku dirinya bukan ustadz, tapi bagi saya dia adalah yang agamanya paling baik di antara kawanan ini jadi anggap saja dia ustadz), sepertinya ide bablas bangun dari sholat isya yang sekarang waktunya sekitar jam setengah 11 hingga subuh bisa dipraktikkan. Saya pernah mencobanya suatu hari sambil menulis esai tengah malam hingga subuh. Ibadah aman tapi besoknya badan ga aman karena merasa ngantuk sepanjang hari (anaknya ga biasa begadang).

Di musim semi sepertinya sholat subuh yang menjadi tantangan. Padahal di musim dingin, mendirikan sholat dzuhur, ashar, dan maghrib secara bergantian dalam jangka waktu kurang lebih empat jam-lah yang menjadi tantangan bagi saya. Di saat aktivitas sedang sibuk-sibuknya, ada tiga sholat yang harus dikerjakan.

Alhasil, pojokan mana pun menjadi tempat saya gelar sajadah (terima kasih Ibu Dwi Martini yang sudah memberikan saya sajadah kain yang bisa dibawa ke mana-mana, semoga pahala sholat saya juga mengalir untuk ibu). Termasuk pojokan Emirates Stadium waktu saya bertandang ke London (berkesan banget, duh duh duh).

Sudah biasa gelar sajadah di mana-mana, terima kasih fotonya, Indi Raisa Girsang
Pojokan tangga darurat Algil dan pojokan Kantorowich Library adalah tempat sholat favorit saya di kampus. Meskipun awalnya malu-malu harus sholat di depan umum, sekarang saya sudah cuek saja. Toh di sini orang-orang tidak pernah menganggap aneh kepercayaan orang lain. Semua bebas berekspresi, hingga saya pun menyadari "kenapa juga saya harus malu mengerjakan sholat?"

Supaya mudah dan efisien, menggunakan baju yang menutup aurat sudah cukup untuk mengurangi bawaan mukena di dalam tas, jadi tinggal bawa sajadah. Kalau di sini perempuan banyak yang hajar sholat tanpa pakai mukena. Karena setahu saya dalam QS. An-Nur: 31, kain kerudung harus menutup dada dan dalam HR. Abu Daud, An-Nasaai, dan Ibnu Majah perempuan tidak boleh berpakaian seperti laki-laki (termasuk menggunakan celana), berpakaian sehari-hari juga sudah harus sesuai syariat agar bisa langsung sholat tanpa mukena. Jangan lupa pakai kaos kaki.
If you can't pray in an outfit like that, don't wear it.
Ada dua hal lagi yang menarik soal menjaga sholat di Manchester. Pertama, mencari arah kiblat dengan aplikasi yang kadang tidak akurat. Kadang menentukan arah kiblat juga mengundang perdebatan di antara jamaah, "Kok madep sana sih kamu? Bukannya madep sana?". Kadang pula akhirnya nyerah dan sholat menghadap ke mana saja sambil bilang, "Allah pasti mengerti." Tawakal setelah ikhtiar.

Kedua, bagaimana menjelaskan ke teman-teman internasional soal apa itu sholat dan kenapa harus sholat. Jadinya filosofis banget, malah mengena ke diri sendiri yang tadinya main sholat aja tanpa tahu apa maknanya. "Saya sholat karena saya butuh sholat. Sekedar break beberapa menit dari urusan dunia untuk mengingat Tuhan, padahal Tuhan sudah mengingat saya setiap waktu."
Hold on to your salah, because if you lose that, you will lose everything else. (Umar ibn Al-Khattab (RA))
Sepertinya cerita menjaga sholat di musim panas akan berbeda. Dan iya, saya rindu suara adzan.

Manchester, 18 Mei 2016

*Jadi ceritanya, saya sedang membuat seri tulisan tentang kuliah di Manchester. Pengalaman hidup di sini bagi saya bukan hanya (dan lebih dari) sekedar kuliah, sehingga saya ingin mengabadikannya dalam bentuk tulisan agar suatu saat nanti saya bisa mengenangnya. Tulisan ini adalah yang pertama dari serial ini. Cheers, mate!

Komentar