The days when life was just four meaningless letters

Sebelum menuliskan ini, saya membaca kembali tulisan yang saya buat hari Senin kemarin. Wow, di hari itu tampak sekali saya sangat marah sampai bisa terbuka menulis di blog untuk sebuah tulisan dengan tendensi kasar seperti itu. Biasanya tulisan marah-marah seperti itu hanya akan saya taruh di Tumblr dan hanya ada sedikit sekali orang yang tahu alamat Tumblr saya (well, I actually deleted the old one and made a new one dengan alasan privasi).

I was super frustrated. Malam sebelumnya, saya bertemu sahabat lama saya dan dia dengan gampang bercerita tentang mantan saya. Sebenarnya saya bukan marah karena itu, tapi saya marah karena saya merasa teman-teman yang kenal kami berdua masih berpikiran bahwa apa yang terjadi antara kami adalah sesuatu yang lucu. Padahal, saya harus melalui perjuangan panjang untuk get everything over.

Kembali ke kamar, saya menangis sesenggukan di atas kasur sebelum bangkit dan mengambil ukulele di samping kasur. Saya lalu memainkan lagu favorit saya: Live Forever - Oasis pada lirik yang paling saya suka "Maybe I will never be all the things that I wanna be. Now is not the time to cry, now it's time to find out why."

Yes, my life is so messy. Nothing is happening according to my plan.

Saya lalu merekam video itu di instagram story, just to show that I'm alright. padahal saya habis menangis hebat beberapa menit sebelumnya.

Tapi sehari setelahnya, saya mendapati diri saya kembali langsung menangis tepat setelah saya bangun tidur. Here we go again, pikir saya, saya kumat lagi. Saya mulai merasa useless dan aimless lagi.

Akhirnya hari itu saya masuk kantor dalam keadaan lunglai dan sempat-sempatnya menulis di blog karena otak saya sudah tidak mampu menahan luapan emosi itu. Saya pikir menulis bisa menjadi obat agar otak saya tidak terlalu kusut.

Saya ingin menceritakan sedikit banyak apa yang terjadi setelah hari itu: my horrible days when life was just four meaningless letters.

Selasa, 10 Oktober 2017

Setelah semalaman menangis (lagi) dan skip makan malam, saya bangun dalam keadaan lemas. Kepala saya migrain dan saya mulai menangis (lagi).

GET UP, KANEEEEETTT..!!!

Saya bilang itu pada diri saya sendiri lalu melaksanakan sholat subuh yang hanya sekedar dilakukan bukan didirikan. Pernah ada suatu masa di mana saya frustasi sekali kepada Tuhan (yes, I did!) lalu sedikit demi sedikit ibadah saya pun tidak lagi bermakna.

Iya, seorang Kanetasya yang instagramnya penuh dengan quote agama, yang selalu tampak relijius di sosmed manapun kini mulai enggan-engganan beribadah. Ya itu, aimless, ga ngerti mau apa sih ini. Saya cuma merasa setiap hari diberi nyawa hanya untuk merasakan getir-getir kehidupan yang tidak ada enak-enaknya.

Selepas subuh saya tidur lagi, berharap ketika bangun, saya merasa lebih baik. But, I was wrong. Sekujur tubuh saya lemas. Saya cuma bisa mengambil hand phone, memutuskan untuk minta izin ke senior saya kalau saya tidak masuk kantor hari itu dengan alasan migrain. Padahal sesungguhnya saya hanya ingin menghabiskan hari di atas kasur. Menangis jika perlu dan kalau bisa tidur sebanyak-banyaknya supaya saya tidak perlu ingat lagi kalau hidup saya menyebalkan.

Saya tahu ada riuh rendah di luar sana yang berkata bahwa, "Anjir, hidup lo ga enak apanya woy?" Tapi itulah yang saya rasakan sekarang. Sudah berapa kali saya mencoba bersyukur, tapi saya masih terus-terusan merasa sedih. 

Saya tidak bisa cerita semuanya di sini tapi yang jelas saya sudah sangat putus asa pada hidup saya. Semua hal berantakan. Semua rencana kacau. Tidak ada lagi bagi saya hal yang menarik untuk dikejar. 

Padahal saya adalah anak yang sangat tepat sasaran, well targeted. Bahkan kalau ke mal saja, saya harus punya semacam itinerary, ke sini dulu beli ini, terus ke sana beli itu, terus ke situ makan dulu, dan seterusnya. Apalagi soal hidup, tidak pernah saya biarkan hidup ini mengalir kayak air. Kalau bisa diperjuangkan ya diperjuangkan. 

Hal itu jugalah yang membuat saya suka perjalanan, karena saya tahu saya sedang menuju ke mana. Selalu ada tujuan di otak saya ketika saya sedang berada dalam perjalanan. Bagi saya, tujuan adalah harapan. Sebuah motivasi kalau di depan sana ada sesuatu yang menunggu.

Dan sekarang? Saking tidak punyanya target baru setelah semua target-target sebelumnya berantakan, saya sangat bingung dan akhirnya stress sendiri.

Ada yang bilang, "Lo kayaknya kudu nikah deh Net!"

Sungguh dalam kondisi kacau begini, saya meyakini bahwa nikah tidak akan menyelesaikan apapun dan justru malah semakin menambah beban saya. Lagipula siapa sih yang mau sama cewek yang hidupnya kacau begini dan tiap malam kerjaannya nangis mulu?

Terakhir saya merasa kacau begini adalah awal September kemarin. Saya tidak berhenti menangis dan sering sekali marah-marah. Sampai ketika saya duduk di kursi depan mobil yang disetir oleh kakak saya melalui tol Jagorawi yang lurus tanpa hambatan, saya memejamkan mata dan berharap agar mobil ini tabrakan saja supaya saya bisa mati.

Hari Selasa itu, keadaan saya kembali gawat darurat. Saya sendirian dan merasa muak dengan hidup.

Dalam hati saya kembali protes, "Apa lagi sih Ya Allah? Mau apa lagi sih ini? Udah lah udah.... Hidup di dunia capek..."

Lalu pada sore hari, saya sengaja post sesuatu yang lucu dan menyenangkan di instagram. Just Kanetasya casually pretended she's fine.

Rabu, 11 Oktober 2017

Bangun tidur lagi.

YA RABB, KENAPA JUGA GUE BANGUN LAGI SIH INIIIII???

Keluh saya sebelum mengecek line dan melihat notifikasi dari grup pacul yang berisi sahabat-sahabat saya dari jaman kuliah. Salah seorang dari mereka share tentang mental health day yang diperingati kemarin.

Pas banget cuy, kemarin saya break dari segala macam kekisruhan hidup ini supaya saya tetap waras dan tidak terlihat kacau di kantor...

Saya pun mengaku kepada mereka dan berkata kalau sepertinya saya sedang depresi.

Mereka pun kaget karena setahu mereka saya kan anak yang periang, sering charge keimanan, dan selalu positif. Saya selalu jadi tempat mereka cerita dan curhat, I am a good listener dan ya itu, selalu punya poin positif. What the hell is wrong with this girl?

Salah satu dari mereka lalu menyemangati saya dengan menceritakan kisahnya ketika berjuang melawan depresi. Saya pun terkejut. Dia adalah sahabat yang membawa saya ke jalan yang benar, I mean, dulu saya melihat dia hijrah dan akhirnya saya pun kecipratan mau hijrah juga. Dia juga anak yang terkenal cuek dan semaunya. Yang mengagetkan lagi, pemicunya mungkin terlihat sepele, tapi sudah cukup untuk membuat dia berpikir mau bunuh diri.

Akhirnya ada yang mengerti T.T

Sumpah, saya sudah berhari-hari diam saja karena saya pikir tidak akan ada orang yang mengerti tentang hal ini. Saya takut di judge kurang bersyukur atau diremehkan karena "halah gitu doang kok stress."

Tapi ternyata di luar sana masih banyak orang yang tidak mengerti kalau hal seperti ini sangat mungkin terjadi pada siapapun. Walaupun masih ada juga yang seperti tadi saya bilang, merasa kalau sebenarnya saya hanya drama saja dan hanya ikut-ikutan depresi biar kekinian.

Padahal siapa juga yang mau sedih lama-lama dan bingung mau ngapain setelah rencana hidupnya kacau?

Karena saya aslinya super extrovert, saya masih sempat membuat instagram story berisi masalah kesehatan mental yang sedang saya alami. Lagi pula memang Kanetasya adalah makhluk yang fakir perhatian. Beberapa notifikasi masuk dan menyatakan dukungan untuk saya. Hey, keputusan yang tepat sepertinya ketika saya terbuka soal ini. Setidaknya saya tahu kalau di luar sana masih ada banyak sekali orang yang peduli kepada saya.

Di hari Rabu itu saya masuk kantor dengan badan lemas. Datang-datang saya langsung ditagih kerjaan oleh salah seorang senior. Saya panik dan karena kondisi saya sedang sangat rapuh, saya pun menangis di kubikal. Tidak ada yang tahu karena rekan sebelah meja saya juga sedang tidak berada di tempat.

Badan saya masih lemas. Otak saya bekerja dengan lambat. Konsentrasi saya pecah kemana-mana. Ada satu atau dua detik yang saya habiskan untuk menahan air mata saya agar tidak tumpah. Saya super kacau, tapi load kerjaan tak kunjung berkurang.

Akhirnya waktu pulang pun datang. Saya pun terkapar di kasur, lalu berpikir teman mana yang bisa saya hubungi supaya saya tetap waras, lalu memilih salah seorang di antara deretan kontak saya untuk diajak bercerita. Biar waras karena saya sudah tidak menemukan hal lain yang bisa menenangkan.

Kamis, 12 Oktober 2017

I felt much better meskipun badan masih lemas. Setidaknya otak saya sudah tidak berpikiran yang aneh-aneh lagi, credit to my friend yang sudah menjaga saya waras di malam sebelumnya.

But he might be wrong about something. Dia selalu bilang, coba kamu ingat orang-orang yang mencintaimu, mereka pasti tidak ingin kamu menyerah. ATULAH KAKAK, SAYA MAH GA PUNYA ORANG YANG MENCINTAI SAYAAAA T.T

Begitulah sistem kerja di otak saya, ketika satu hancur, maka hal yang lain yang tadinya masih berdiri kokoh tapi mulai retak-retak harus saya paksa untuk ikutan hancur juga. Buruk-buruk milik hal lain yang tadinya masih bisa saya topang, saya biarkan semakin terlihat besar dan membuat saya tak sanggup untuk memikulnya. Termasuk soal hubungan personal saya dengan orang lain.

Tapi ternyata hanya kerjaan yang sepertinya tidak mengizinkan saya untuk menyerah. Ya setidaknya ada sesuatu yang keberlangsungannya rely on me. Senang kan? 

Bukan berarti saya juga tidak berpikiran untuk rehat sejenak. Pernah suatu kesempatan saya sedang berdua membahas kerjaan dengan senior saya ketika keinginan saya menceritakan yang sesungguhnya kepada dia sangatlah besar, "I am depressed actually, Mas..."

Saya tidak minta cuti karena sendirian di kamar tentu saja hanya akan membuat saya tambah stress. Saya hanya ingin dia memaklumi kalau kerjaan saya agak lambat akhir-akhir ini, itu karena saya sedang sakit.

Tapi saya mengurungkan niat itu. Takut dia tidak mengerti what the hell is depression (iya, ini susah banget dijelaskan apalagi kalau sifat default kamu adalah periang dan bebas bergerak).

Malamnya, seorang rekan kantor yang selalu setia berkata, "KANET JANGAN SEDIH." setiap kali saya tiba-tiba bengong dengan tatapan sedih ketika berada di kantor sebulan belakangan ini mengajak saya makan enak. Seorang teman kami yang lain juga ikut.

I fu mie Solaria dan cerita panjang tentang kondisi saya kepada dua orang ini ternyata cukup mampu menyembuhkan lebih dari separuh kepenatan saya. Malam itu saya merasa jauh lebih baik dan membatalkan niat untuk menghubungi psikolog. 

Saya memutuskan untuk pulang ke kost dari Plaza Festival dengan berjalan kaki. Selain untuk membakar kalori, berjalan adalah terapi saya. Seperti yang sudah saya bilang di atas, setidaknya saya punya tujuan ketika berjalan kaki dan olahraga sejauh ini adalah pelampiasan dari segala kekesalan saya pada hidup ini. Sampai di kost, saya lelah dan langsung mandi. One of the best feeling in the world bagi saya adalah ketika saya selesai olahraga, mandi, pakai body lotion yang wangi, lalu tiduran di kasur.

So much better now. Alhamdulillah. Setidaknya saya tidak lagi berpikiran kalau hidup ini harus berakhir sesegera mungkin. Setidaknya ya.

Captured by Dara Pratiwi at La Laguna

Komentar