Tapi aku tidak pernah merindukanmu, Manchester

Di suatu pagi hujan turun tanpa malu-malu, semua teman berkata, "Ah, jadi kangen Manchester!" Iya, kota ini memang lebih sering hujan daripada terang, lebih sering mendung daripada hangat.

Tapi bagiku yang jiwa raganya sudah terpaut pada sebuah kota di dekat Gunung Salak dan selalu dengan bangga menolak jika dikategorikan sebagai orang Jakarta, hujan identik dengan Bogor. Kota hujan tetaplah Bogor. Titik.

Mungkin aku yang jadi sinis karena kata peribahasa kan "karena nila setitik, rusak susu sebelangga". Manchester yang tadinya menyimpan kenangan indah kini tidak selamat dari lirikan kebencianku. Di saat semua orang bilang ingin kembali ke sana, aku lebih memilih kembali ke Roma, Cinque Terre, Praha, atau London dan Edinburgh yang sejak awal hingga akhir terasa jauh lebih menyenangkan.

Manchester? Terima kasih. Hanya tempatku setahun singgah. Bandingkan dengan tinggal empat tahun di Sleman yang tentram dan nyaman. Manchester? Kota yang tidak akan menyenangkan sama sekali jika tidak ada teman-teman Indonesia yang manis sekaligus gaduh.

Apa itu Manchester kalau tidak ada Oasis? Band yang lagu-lagunya menemaniku menulis esai dan disertasi. Band yang albumnya aku dengarkan sepanjang perjalanan pulang dari Manchester ke Doha karena THEY ARE THAT GOOD. Bayangkan betapa bagusnya sebuah band jika aku bisa tidur dengan nyaman di pesawat sambil mendengarkan lagu-lagu mereka, padahal genre mereka? Duh, rock n roll.. Maklum saja, kupingku ini memang lebih suka sesuatu yang bising.

Kenapa juga dulu aku pulang dari Manchester dan malah mendengar Oasis di dalam pesawat? Karena aku pikir pasti hanya Oasis yang akan selalu mengingatkanku tentang sebuah kota bernama Manchester yang suram tapi, yes, rock n roll... 

Tapi aku pun sebal kenapa Manchester tidak punya Museum Oasis seperti Liverpool yang mengklaim The Beatles sebagai ikon kota dengan sangat kuat. Itulah kenapa aku kembali membenci Manchester, bahkan mereka tidak mampu menghargai band yang mengangkat nama mereka ke dunia, di samping dua klub sepak bola yang tidak perlu ditanya lagi betapa populernya.

Lebih sebal lagi ketika eksibisi Oasis baru kembali pulang kampung ke Manchester sebulan setelah aku pulang. BAGUS MANCHESTER! NYARIS LENGKAP SUDAH KEBENCIANKU KEPADAMU!

Tapi sepertinya memang Manchester pun membenciku dan ingin melengkapi segenap kebencianku kepadanya. Dia mempertemukanku dengan seseorang yang perilakunya busuk serta jamuran seperti makanan yang ditinggal basi setahun. Dan orang ini adalah sebuah atribut kelengkapan kenapa aku tidak akan pernah merindukan Manchester.

It's not easy for me to move on and get over two bloody toxic horrible relationships. 

Sekali lagi terima kasih Manchester, sudah mengingatkanku bahwa melarikan diri dari seorang pecundang mungkin saja berarti "Eits jangan senang dulu, kamu pasti akan akan segera menemukan pecundang lainnya!"

Intinya mungkin sama: they are just not good for me. Tapi intinya juga sama: perempuan bodoh macam apa yang bisa membiarkan dua orang laki-laki bedebah memasuki hidupnya, mengobrak-abrik perasaannya, meninggalkannya dengan mudah, serta membuangnya dengan kejam seperti sampah.

Only God knows betapa aku kira rencanaku akan berjalan indah ketika ada seseorang yang mengutarakan niat baiknya kepadaku di kota itu. Betapa seharusnya aku mendapatkan cinta yang kupikir pantas aku dapatkan setelah berbagai jenis kekacauan. 

Tapi sepulangnya saya dari sana, he called me up again just to break me like a promise, begitu mungkin jika saya boleh meminjam kalimat tajam milik Taylor Swift.

Dan sepulangnya dari sana, hidupku semakin dan semakin berantakan.

Mungkin bukan salah Manchester jika sekarang aku tak merasakan kebahagiaan. Mungkin bukan salah Manchester jika rencana hidupku terus menemukan kegagalan. Mungkin bukan salah Manchester jika aku bangun tidur dan mendapati diriku berada di dalam kesedihan

Tapi demi apapun, maaf, aku tidak akan pernah merindukanmu, Manchester.

*****

Well, I wrote this last week (9 Oktober 2017).

Saya masih terkagum-kagum dengan keberanian saya menuliskan ini di blog!

Tapi saya mempertahankan tulisan ini karena saya ingin suatu hari nanti jika saya sudah bahagia, saya bisa membaca betapa kalutnya saya dulu dan betapa Allah sebenarnya punya rencana untuk saya. Suatu hal yang mungkin tidak saya mengerti ketika menuliskan ini. Saya juga ingin merekam buruknya mental breakdown yang terjadi kepada saya pada minggu-minggu yang sangat berat.

But life must go on...

Edited on 18 October 2017. Love, Kanetasya.

I wrote another note about my it-definitely-might-be depression on The days when life was just four meaningless letters.

Komentar