Dear all, I need to talk (1): Advice from my murabbi

“Teh, punya kenalan psikolog ga?” akhirnya kalimat itu meluncur dari mulut saya setelah mengumpulkan segudang keberanian untuk mengungkapkannya.

“Kenapa Net? Buat siapa?” ujar si teteh, murabbi saya.

“Duh bingung deh ngejelasinnya. Buat aku teh. Aku ngerasa kayaknya aku depresi deh,” jawab saya mencoba menjelaskan.

Oke, ini bakal panjang. Pikir saya. Saya sudah malas menjelaskan apa yang salah pada diri saya sehingga saya merasa sedih berlebihan seperti ini. Tapi bagaimana pun juga, karena liqo minggu ini saya datang sendirian, saya kudu cerita sama si teteh, mumpung ada kesempatan. Dia pasti bisa memberikan pandangan lain kepada saya. Bagaimana pun juga, keilmuan dia jauh lebih tinggi daripada saya.

“Apa sih yang kamu khawatirkan?” tanyanya.

Saya mulai menjelaskan kekhawatirkan saya akan masa depan saya yang dalam pandangan saya sangat suram dan buram. Kerjaan tidak jelas, jodoh tidak jelas, keluarga banyak masalah. Ah rumitlah! “Aku ga tau teh mau ngapain lagi dalam hidup ini? Mau diapain lagi gitu loh.” ujar saya putus asa.

Yes, jujur akan keadaan saya sepertinya jauh lebih baik daripada pura-pura baik-baik saja dan sok-sokan sholehah. Si teteh pun menanggapi dengan sabar, dia mengatakan sesuatu yang saya sudah tahu bahwa rejeki, jodoh, maut itu sudah diatur sama Allah.

Tau teh tau… Tapiiii….

Eh bocah diem dulu napa! Dalam hati saya bilang begitu.

Si teteh pun bercerita, contohnya gini, salah seorang sahabat, Abdurrahman bin Auf, menjadi sahabat terakhir yang masuk surga dari 10 sahabat yang dijamin masuk surga lainnya. Kenapa? Karena beliau paling kaya, jadi hisabnya paling lama. Gara-gara itu, beliau berusaha menjual kurma busuk supaya usahanya bangkrut lalu dia tidak punya harta lagi. Eh, malahan ada seorang raja yang sedang mencari kurma busuk untuk pengobatan dan membeli kurma busuk beliau dengan harga berkali-kali lipat. Maka Abdurrahman bin Auf pun tetap tajir melintir karena memang begitulah Allah mengatur rejekinya.

“Apa coba yang belum diatur? Akhirat kan? Jadi kalau Kanet tanya hidup ini mau ngapain lagi, nah coba lihat kisah-kisah para sahabat. Abu Bakar yang masuk surga karena sedekahnya. Seorang sahabat lain yang masuk surga karena memuliakan ibunya. Sudah belum kita melakukannya?”

Dan Kanet pun mulai ketip-ketip.

Kenapa sih saya lupa terus kalau tujuan dari hidup di dunia ini adalah untuk beribadah. Udah itu dulu aja diurusin. Tidak perlu mikirin kenapa sih sudah rajin ibadah tapi doanya belum dijawab.
Setelah saya review, ternyata menuju ke arah sana itu susah banget. Saya tuh sempat merasa sangat perform untuk mengejar akhirat, tapi sekarang malah kena bujuk rayu setan lagi. Disorientasi hidup mau ngapain karena merasa tidak yakin kalau Allah akan menjawab doa-doa saya dan ujung-ujungnya saya jadi malas beribadah. Dalam bahasa si teteh, keikhlasan saya dalam beribadah sedang diuji.

“Teteh yakin Kanet sebenarnya mampu. Kamu hobinya apa?” lanjut si teteh.

“Nulis ~” jawab saya

“Nah coba ikut komunitas menulis. Sudah belum?”

Saya pun senyum-senyum, “Belum teh…”

“Kenapa?”

“Malu… Aku selalu merasa yang lain jauh lebih hebat daripada aku.”

Memang tidak ada alasan lain. Saya selalu minder dan merasa kalau saya super sampah dibandingkan yang lain.

“Justru di komunitas itu nanti kamu bakal belajar. Coba deh… Trus apa lagi hobi kamu?”

“Renang”

“Nah kan itu mah bermanfaat banget. Kamu bisa jadi instruktur renang. Banyak banget loh yang cari instruktur renang muslimah. Kalau kamu mau, sekarang bisa nih teteh kasih tau yang lain kalau ada yang bisa ngajarin renang.”

Duh jangan, masih ga siap. Pikir saya dalam hati.

“Kan banyak yang sebenarnya bisa kamu lakukan!”

Well iya, tapi kadang pikiran saya yang liar ini suka kusut sendiri dan tidak berhasil mengurai masalah dan tidak mampu menemukan rumusan masalah.


Singkat cerita si teteh memberikan saya kontak seorang psikolog yang sesuai request saya, saya maunya psikolog yang juga mengerti agama jadi bisa sekalian siraman rohani. Sepertinya saya akan menghubungi beliau sooner or later.


Eventhough it scares me...


Menurut saya, saya sebenarnya cukup kuat untuk tidak mendatangi psikolog. Saya merasa saya lebih tau keadaan diri dan jalan pikiran saya sendiri dibandingkan orang lain. Bagi saya kalau saya pergi ke psikolog, berarti saya lemah dan PROBABLY GUE UDAH GILA.

Tapi dari percakapan dengan teman saya, he thought that I seriously need help from the expert karena saya ternyata masih terlihat sangat putus asa dan dia tidak bisa handle bagaimana memperbaiki jalan pikiran saya.

Saya pun menyerah. Merasa kalau ada baiknya juga saya menghubungi bantuan daripada saya semakin termakan jalan pikiran saya sendiri. Yes, I am not weak, I just need a little help. Selebihnya saya yakin saya bisa mengatasi diri saya sendiri.

27 tahun menguasai tubuh ini, masa saya ga belajar?


Tell the truth


Menceritakan tentang kesehatan mental kepada orang lain memang sangat sulit. Yang paling saya takutkan adalah judgement bahwa saya lemah.

Dulu waktu kuliah di Manchester, teman saya ada yang depresi dan mempercayai saya sebagai temannya untuk bercerita. Pengetahuan saya soal depresi ketika itu sangat minim tapi saya bisa melakukan sesuatu yang tepat: mendengarkan keluh kesah dia sampai dia merasa lega, memberikan support untuknya, dan berusaha untuk tidak menghakimi dia.

Sebagai seorang ekstrovert, curhat bukanlah sesuatu yang sulit bagi saya. Pancing dikit, saya pasti bisa cerita sampai kerak-keraknya. Tapi menceritakan kalau saya sepertinya sedang depresi ternyata tidak semudah itu dan sedikit sekali orang yang mengerti apa yang harus mereka lakukan ketika menghadapi orang dengan pikiran yang kusut seperti saya.

Hari ini Allah menuntun saya untuk bercerita kepada murabbi saya. Entah kenapa dari tutur katanya, saya merasa bahwa Allah sedang memberikan petunjuk agar saya kembali ke jalan yang benar dan menyadarkan bahwa masa depan saya tidak seburuk yang saya bayangkan.


At least I know that Allah still loves me setelah berkali-kali dalam keadaan down saya menangis di lantai sambil meraung-raung, "Do you really love me, Ya Allah?”


Saya pernah berada dalam kondisi di mana saya merasa Allah tuh ga sayang sama makhluk bernama Kanetasya ini. Tapi kadang manusia memang tidak mengerti kalau berkah bukan cuma datang dari doa yang dikabulkan tapi juga doa yang pengabulannya ditunda atau malah doa yang sebenarnya sudah dijawab dengan yang lebih baik.

“Tuhanmu tidak pernah meninggalkanmu dan tidak pula benci kepadamu.” (QS. Ad-Dhuha:3)


Remember that!


Sumber: pinterest.com
***

Please check the other note about my it-definitely-might-be depression on:

The days when life was just four meaningless letters

Komentar