18 meter dari permukaan laut: Catatan open water scuba diving course (part 2)
Day 5 and 6
Inilah hari yang
paling ditunggu-tunggu: percobaan diving
di laut Pulau Pramuka. Yuhuuuu…
Pagi-pagi jam 7, saya
sudah harus kumpul di Dermaga Marina, Ancol, padahal malam harinya saya baru
pulang jam 9 malam dari kantor. Sungguh, hidup sangat keras ye. Tapi karena kelelahan, saya tidak se-excited itu untuk diving.
Ya Rabb, rasa-rasanya mendingan tidur deh.
Dive 1
Karena lelah dan stres
melihat keadaan ombak yang tidak terlalu asyik, anxiety saya mulai muncul lagi. KENAPA HARUS DI SAAT SEPERTI INI?
-..-
Ombak yang terus
bergulung-gulung membuat saya kepayahan berenang dari dermaga untuk menggapai
pelampung tempat kami harus deflate
dengan mengunakan tali. “Wah kacau nih kacau!” ujar saya dalam hati.
Berkali-kali saya merasa tidak yakin kalau saya bisa melakukannya.
Sampai di sebuah papan
di dalam laut, tempat kami harus mengulang beberapa skill, saya masih anxious.
Masih dalam suasana anxious,
tiba-tiba tangan saya terasa perih, seperti ada yang mengigit saya beberapa
kali. Benar saja, pas saya mengecek, ada ikan berukuran sedang lagi iseng
menyerang tangan saya. WOYYYY, HAYATI KESAL!!! Untung saja dive master yang mengawasi kami segera bertindak dan mengusir ikan
itu. Oke, drama ikan selesai.
Drama berikutnya tentu
saja ketika saya harus menyelam mengikuti rombongan. Di tengah jalan, saya
terbang ke atas sampai ke permukaan. Ya salam -..-
Dive master pun menyelamatkan saya dan mengembalikan saya ke rombongan. Karena
terlalu cepat membawa saya turun ke bawah, si DM tidak memberikan saya
kesempatan untuk equalize dulu. Woy, keluh saya sambil memberikan sinyal
ada masalah. “GUE BELUM EQUALIZE KALI, BANG!” Sayangnya ga kedengeran, yang kedengeran cuma blurp blurp.
Saya menunjuk ke telinga saya dan si Bang DM mengerti kalau saya belum equalize. Ga jelas beud sumpah kelakuan saya.
Bagi seorang yang suka
ngobrol seperti saya, diving juga jadi olahraga yang menantang
karena di dalam laut, saya tidak bisa berkomunikasi dengan suara. Jadi meskipun
di dalam air ramai banyak orang, rasanya ya tetap krik-krik dan kesepian gitu (hati lo aja kali yang kesepian, Net ~)
Oke, balik ke cerita dive 1, sampai ke permukaan, kembali
lagi saya harus deal dengan si ombak
besar. Please lah ini… Saya sudah
merasa kacau dan mual. Saya mulai berpikir: agaknya
gue nyerah aja deh ini.
muka stres pengen tidur, wkwk |
Dive 2
Setelah makan siang,
kami melakukan dive kedua di lokasi
yang sama dengan kedalaman kira-kira 12 meter. Tentu saja ombaknya masih
bergulung-gulung tidak bersahabat. Baiklah kakak ~
Di dive kedua ini, saya merasa tidak ada
peningkatan pada skill “cipak-cipuk”
saya akibat pengendalian buoyancy
yang masih payah.
Di akhir sesi diving kedua di mana saya sudah
kepayahan karena ombak besar dan entah kenapa asam lambung saya malah ikutan
naik (bagus sekali ~), saya hanya bisa lemas naik ke dermaga lalu duduk di
pinggiran sambil memeluk kaki saya. “Kanet, are
you okay?” Kak Toni memberikan sinyal oke dari laut untuk menggoda saya and I was just smiling, wishing that this
was the end of my dive course. I was sick.
“Gimana dive kedua?” tanya Kak Toni saat kami
berjalan beriringan menuju warung Indomie, yes, diving memang bikin gemuk. “Ga ada perubahan kayaknya, Kak,” ujar
saya sedih. “Kata siapa, tadi Bang DM bilang sama saya, katanya kamu sudah jauh
lebih baik,” kata Kak Toni.
DEMI APA? JANGAN
BOHONG!
Dive 3
Esok paginya, bukan
hanya ombak dan angin yang harus kami hadapi, melainkan juga hujan lebat yang
membuat kami menunda perjalanan open
water pertama kami. COBAAN APALAGI INI, YA RABB -..-
Dengan gerimis yang
masih mengundang, akhirnya kami berangkat diving
ke tengah laut. Asyik sih kalau dibayangin sekarang, tapi pada saat itu, saya
sudah lelah dan cenderung muak. Wkwkwk. Capek kakak, pengen bobo kakak.
Karena sudah anxious duluan, saya sampai deg-degan
mau coba back roll entry pertama
saya. Pengalaman saya ketika back roll pernah saya tuliskan di Tumblr, tapi saya post lagi di blog ini. Mangga dibaca, saya masih kebayang sih bagaimana rasanya back roll entry yang ternyata asyik itu.
Wkwkwk
Dive tiga saya seperti apa? Tentu saja kacau, saya harus dipegangin sama DM
sepanjang diving karena saya tidak
percaya diri untuk menyelam sendiri. Duh Net ~
Jadi diving ternyata juga olahraga yang
membutuhkan kepercayaan diri yang tinggi. Kalau mau belajar supaya lebih pede, diving mungkin bisa menjadi sebuah alternatif.
Dive 4
nongki-nongki cantik sebelum menyelam |
Seusai surface interval selama setengah jam,
kami harus kembali diving. Cuaca
sudah membaik dan ombak juga sudah tidak sesemangat tadi pagi. Sama tidak
semangatnya dengan saya. Tapi Kak Toni mencoba membangun kepercayaan diri saya.
Dia menepuk pundak saya supaya saya bangkit dari kecemasan ini.
Well, it worked karena saya termasuk tipe orang yang bisa
ditenangkan melalui sentuhan. Jangan mikir yang nggak-nggak loh! Wkwkwk.
Sepanjang perjalanan
menuju lokasi diving, saya
bersenandung supaya tidak terlalu stres. Lagunya? She’s Electric dari Oasis.
Bernyanyi memang
selalu mengurangi ketegangan. Setelah berhasil deflate, saya mulai mengikuti Kak Toni menyelam bersama Emira, dive buddy saya. Lalu entah gimana dan
mengapa, saya bisa mengendalikan buoyancy
saya. Saya tidak terbang-terbang lagi. Saya bisa menikmati dive keempat dan saya bisa berenang ke sana kemari melihat ikan dan
terumbu karang. It was fun! Saya
tidak jadi menyerah.
Kak Toni dan saya lalu
tos-tosan di dalam laut. Wakakakakak. He
was the proud instructor.
Tapi di tengah jalan,
saya mulai merasa pusing. Oke, si asam lambung naik lagi. Not this time, not this time, kata saya. Akhirnya saya tidak bisa
menahan asam lambung yang terus naik dan kemudian muntah di dalam laut! Blar!
Saya melepas regulator
dan mengeluarkan isi perut saya. Kak Toni mengecek apakah saya baik-baik saja.
Saya oke karena muntah selalu membuat kepusingan saya berkurang. Saya sama
sekali tidak panik saking biasanya saya muntah kalau di daratan, ya sama saja
toh, cuma bedanya ini lagi di dalam laut. Asal tidak lupa masang regulator lagi
di mulut, saya pasti hidup.
Setelah kejadian itu,
saya masih sanggup melanjutkan diving.
Kemudian naik ke permukaan walaupun kembali disambut oleh ombak besar yang
tidak manusiawi karena tidak memberikan saya waktu melepas masker dan bernapas
lewat hidung yang ternyata sudah sangat saya rindukan.
Tapi bagaimana pun
juga, rasanya happy! Kak Toni pun
bangga melihat saya dan memuji kemampuan saya untuk mengendalikan diri,
khususnya ketika saya muntah.
Dengan demikian izin
menyelam di open water pun saya
dapatkan.
“Kak, tadi berapa
meter?” tanya seorang teman saya ke Kak Toni. “18!” jawab Kak Toni. Wow! Jadi
tadi kami sudah sampai di batas kedalaman maksimal seorang open water diver.
this is not a good team photo but, well, do you think we can pose properly under 18 meters? |
18 meter dari
permukaan laut, saya belajar untuk lebih percaya diri karena sesungguhnya “You are not as stupid as what you think,
Net!”
18 meter dari
permukaan laut, saya belajar untuk mengendalikan diri meskipun saya berada
dalam bahaya.
18 meter dari
permukaan laut, saya belajar bahwa tidak ada mimpi yang mudah dan semua mimpi yang
sulit itu pasti jauh lebih membanggakan.
18 meter dari permukaan
laut, I can say now that I have a lot of
fun under pressure!
Menyambung dari kisah
saya tentang depresi, setelah diving,
saya tidak pernah merasa se-depressed
dulu lagi. Mungkin karena saya telah mencoba hal baru yang tidak membosankan atau
mungkin malah karena stres saya beralih dari hal-hal lain yang saya cemaskan ke
cemas karena takut ga bisa mengendalikan buoyancy.
Wkwkwk.
Yah pokoknya, jika
saya jatuh lagi, saya pasti akan memiliki keberanian untuk sekalian menyelam. When I was drowning, that’s when I could
finally breathe, gitu kata Taylor Swift J
NB: If anyone wants to ask more about my dive
experience, feel free to comment or contact me. I would like to suggest
everyone to try diving!
Please follow this link to read the first part.
Please follow this link to read the first part.
Komentar
Posting Komentar