18 meter dari permukaan laut: Catatan open water scuba diving course (part 1)
“If you are falling, dive.”- Joseph Campbell
Perjumpaan saya dengan
biota laut dimulai dari kisah dicemplunginnya saya ke tengah laut di Pulau
Pramuka oleh Kak Fika Afriyani. Setelah itu, yang namanya snorkeling adalah kegiatan favorit saya, kayaknya kalau jalan-jalan
ga pake snorkeling rasa-rasanya bukan
jalan-jalan.
Sejak itu juga, saya
berkeinginan untuk diving, seperti yang
dilakukan oleh dua orang mas-mas yang ada di perahu kami ketika itu. Jika dari
atas permukaan saja, dalamnya laut segitu indahnya, apalagi kalau saya masuk ke
dalam, begitu pikir saya.
Tahun demi tahun
berlalu, cita-cita ini pun belum tersalurkan dan masih dipendam dalam hati.
Satu-satu dulu, begitu niat saya. Saya bereskan dulu utang keinginan sekolah
S2, baru setelah itu saya berniat untuk diving.
Abis itu? Nikah. Wkwk.
Hingga akhirnya di
tahun 2017, saya pun punya kesempatan dan modal untuk mewujudkannya. Cihuy.
Lagi-lagi Kak Fika yang menawarkan saya untuk ikut diving course di Pusat Studi Kelautan Universitas Indonesia, tempat
dia bekerja. Biayanya bisa dibilang tidak murah, tapi worth it untuk orang yang serius mau coba diving.
Oke, saya dapat banyak
pertanyaan berapa biayanya, jadi biayanya adalah Rp 5.000.000. Yaps, tidak
murah, but if you want to do something,
go get it. Period.
signalling ok! |
Day 1 and 2
Di pertemuan pertama
dan kedua, saya kenalan dengan instruktur saya yang super baik hati, Kak Toni
Chua, serta dengan lima adek-adek Biologi UI yang jelas-jelas sudah jauh lebih
akrab dengan dunia laut dibandingkan saya (anak ekonomi, s2 pembangunan, ngurusin ekonomi makro di Bappenas, bye!). Bertempat di Pusat Studi Kelautan
UI, Fakultas MIPA, saya duduk-duduk cantik menonton materi lewat video dari
PADI (ini nama lembaga diving loh,
bukan nama band).
Jadi, sebelum beneran
praktik nyemplung ke kolam atau laut, kita semua harus belajar teorinya dulu.
Ternyata memang tidak semudah yang saya bayangkan. Banyak sekali
istilah-istilah baru yang asing (regulator,
BCD, inflate, deflate, buoyancy, wetsuit, apa pula nih?).
Di hari terakhir di
kelas, kami ditawarkan untuk langsung ujian teori supaya nanti pas di laut,
kami bisa punya waktu lebih untuk santai-santai. Awalnya ragu untuk langsung
ujian karena saya merasa super awam soal begini-begini, tapi ternyata saya
lulus dengan sekali uji coba. Mantab.
the team when we're still totally dry |
Day 3 and 4
Weekend selanjutnya, kami uji coba diving
di kolam. Nah ini juga pada nanya, kolamnya di mana sih? Kolamnya adalah GOR
Parta Pertamina karena kolam Senayan lagi di renovasi dalam rangka Asian Games.
Di hari ketiga, kami
harus mengerjakan skill berenang 600 meter
dan watertrappen. Jadi jangan
coba-coba diving kalau berenangnya
belum bener atau jangan coba-coba diving kalau belum nyaman di air. Kalau
nyamannya sama kamu gimana? (wooooyyyy)
Setelah itu, kami
belajar bongkar pasang alat-alat diving
yang namanya asing itu dan mencoba menyelam mengerjakan beberapa skill di kolam 1,5 meter dengan cara
berlutut. Yoi, katanya kamu tidak akan pernah lupa rasanya ketika pertama kali
bernapas di dalam air, dan memang, saya tidak pernah lupa.
Tapi yang tidak pernah
saya lupakan juga adalah bagaimana mengerjakan skill itu rasanya sama dengan penyiksaan bagi saya. Saya harus
mencoba berbagai keadaan darurat mulai dari melepas regulator, masker, BCD, pemberat, dan segala macam di dalam air. Belum
lagi skill ketika tabung oksigen mati
dan skill ketika udara di regulator
tidak bisa dikendalikan (free flow
regulator).
Meskipun menurut saya kacrut,
Kak Toni selalu bilang sebenarnya tidak ada masalah dengan skill saya sebagai pemula, I
just need to be more confident.
Ingat, jangan panik
selama regulator masih ada di mulut.
Di hari keempat
akhirnya kami mencoba menyelam di kolam sedalam 6 meter. Saya sempat gagal equalization pas awal-awal deflate (turun ke bawah) dan hal itu
mengganggu kesehatan telinga saya sampai tiga hari ke depan. Sejak itu, saya
menyadari betapa pentingnya equalization
supaya telinga saya tidak cedera lagi. Tekanan memang membuatmu berkembang,
tapi tekanan di telinga bisa membuat telingamu rusak, kakak ~
Diving is really a serious sport with a high
risk.
Di hari keempat juga
saya mencoba “cipak-cipuk” jalan-jalan di dasar kolam. Beberapa kali percobaan,
saya gagal. Tubuh saya terbang ke atas permukaan tanpa saya bisa
mengendalikannya. Sedih dan panik. Tapi Kak Toni lagi-lagi meyakinkan saya
kalau saya pasti bisa. Dan di percobaan terakhir, I did it! Then he took a picture of me signaling “Ok!”
Oh iya, kalau ada yang
penasaran darimana saya dapat alat-alatnya, jawabnya: saya dipinjamkan oleh tim
Pusat Studi Kelautan UI yang super baik dan sigap memenuhi segala macam
kebutuhan kami. Termasuk kebutuhan perut saya yang constantly hungry sehabis menyelam dan gagal diet gara-gara coba diving. Duh.
the team when we're already wet |
Day 5 and 6 adalah hari pertama dan kedua saya diving di laut lepas. Karena tulisannya rada panjang, jadi saya bagi dua supaya ga bosen. Hehe. Silahkan di klik linknya jika mau tahu kelanjutan ceritanya...
Komentar
Posting Komentar