Bagaimana kita berakhir?

Pada bulan Ramadhan kemarin, saya pernah duduk di sebuah majelis di mana sang pemberi tausiyah adalah seorang mualaf. Tausiyah itu adalah salah satu tausiyah yang mampu membuat saya banjir air mata mendengar isi ceramahnya.

Si bapak menceritakan bagaimana dia bisa menemukan Islam sebagai agama yang dianutnya. Namun kalimat beliau yang mampu membuat hati saya terenyuh adalah, "Kalian adalah guru saya, senior saya, karena saya baru beberapa tahun mengenal Islam, sedangkan kalian sudah mengenalnya sejak lahir. Kalian tidak perlu seperti saya yang harus kesana-kemari mencari kebenaran karena kalian sudah terlahir dengan nikmat itu."

Hari itu, melalui perantara si Bapak (Pak, saya lupa namanya, maaf ya Pak), Allah memberikan saya petunjuk bahwa ada sebagian orang yang beruntung karena terlahir dengan "warisan" ini. Tapi ada juga orang yang tidak terlahir dengan "warisan" ini, namun kemudian mendapatkan petunjuk.

Lalu saya membayangkan bagaimana jika Allah mentakdirkan saya tidak terlahir dengan kepercayaan ini. Kemudian bagaimana jika dalam perjalanan kehidupan saya, saya tidak berusaha mencari petunjuk dan akhirnya sama sekali tidak mendapatkan petunjuk. Ketika memikirkan inilah, sembari duduk memeluk lutut, saya tak kuasa menahan air mata.

Saya pun teringat beberapa teman saya yang bercerita bagaimana mereka terlahir sebagai muslim, namun berusaha mencari sendiri petunjuk itu karena keluarga mereka tidak pernah mengajarkannya. Berbeda sekali dengan saya yang tidak hanya terlahir sebagai seorang muslim, tapi juga terlahir dari keluarga yang taat beragama. 

Maka jika saya bisa menjalankan agama ini dengan lurus  (walaupun masih banyak dosa), tidak usah heran. Saya sudah masuk sekolah Islam sejak TK dan melanjutkan pendidikan saya di SD Islam. Saya baru sekolah di sekolah negeri ketika SMP dengan pondasi ilmu agama yang sudah sangat baik. Apalagi saya juga bersekolah di SMA Negeri 1 Bogor yang rohisnya sangat kuat.

Bisa dibilang, saya adalah satu dari miliaran umat manusia yang tak perlu repot-repot mencari petunjuk karena petunjuk itu terus-terusan "menempel" kepada saya hingga sekarang.

"yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan"

Tapi yang Allah nilai bukanlah bagaimana kita memulainya

Yang Allah nilai adalah bagaimana kita berakhir.

Bisa jadi mereka yang tadinya bukan seorang muslim, akhirnya meninggal dalam keadaan telah menemukan hidayah. Bisa jadi mereka yang tadinya seorang muslim bawaan, namun menjadi lebih bertakwa ketika mencari sendiri petunjuk ini, akhirnya meninggal dalam keadaan husnul khotimah. 

Bisa jadi orang-orang seperti saya, yang tadinya lurus-lurus saja, malah hatinya berpaling dari kebenaran dan berakhir dengan mengenaskan. 

Maka di mana pun kita sekarang berada, sudah dalam tingkat apa pun keimanan kita, mulai sejak kapan pun kita mecoba hijrah, jagalah dia dan kejarlah selalu petunjuk itu. Iman adalah sesuatu yang tidak boleh kita lepaskan (kalau kata Reza "Satu yang Tak Bisa Lepas").

Karena bagaimana pun juga, tidak ada yang tahu bagaimana kita akan mengakhirinya kelak. Entah jika saat ini kita sudah baik atau belum.

Karena itulah, surat pembuka di dalam Al-Qur'an memuat doa yang sangat precise, Ihdinash-shiroothol-mustaqiim, tunjukilah kami jalan yang lurus.

Maka janganlah kau lepaskan pergaulanmu dengan teman-teman yang sholeh

Nasihat ini bisa jadi merupakan pelindung yang paling kuat agar kita selalu mendapatkan petunjuk.

Katanya orang itu tergantung bagaimana agama temannya. Teman-teman yang sholeh inilah yang akan terus menarik kita kembali kepada jalan yang benar. 

Pernah ketika kondisi keimanan saya sedang surut, saya mendapati diri saya meminta nasihat dari mereka yang saya tahu taat beragama. Salah satu dari mereka lalu berkata kepada saya, "Sekacau-kacaunya hubungan kamu sama Allah sekarang, lihat dong ternyata kamu masih mencari jalan yang benar. Tidak semua orang loh dikasih petunjuk seperti kamu!"

Saya tertegun. Dia benar. Saya yang terbiasa curhat dengan dia pun merasa bahwa Allah memang selalu memberikan petunjuk-Nya melalui teman-teman yang sholeh seperti dia. Maka seharusnya saya tidak melepaskan persahabatan kami. Walaupun ada saja masanya saya "menyimpang keluar jalur", di mana saya cuek saja meskipun telah bergelimang dosa, teman-teman seperti mereka akhirnya mampu menarik saya kembali ke jalan yang benar.

Teruslah ingat bahwa teman-teman yang sholeh ini juga yang bisa jadi akan mencari kita di surga kelak jika buruk-buruknya nanti kita tidak masuk surga. I hope one day, my pious friends will look for me, "Ya Allah, Kanet di mana kok ga masuk surga? Dulu saya kan ngaji sama dia..."

Saya harap begitulah kelak nanti saya berakhir dan saya harap begitulah kelak kita semua akan berakhir. Berakhir dalam keadaan beriman dan bertemu di surga-Nya.





Komentar

  1. OMAIGOD!!
    SUPER SINCERE STORY WITH STRONG MESSAGE! I ADORE YOU MUCH KANYET! KEEP BEING YOU
    -isyana sarasvati

    BalasHapus

Posting Komentar