How a small "appreciation" can make a difference

Saya tumbuh besar dengan sedikit apresiasi dari orang terdekat saya. Saya tumbuh besar dengan kritikan. Maka tak heran, jika ada lomba mengkritik diri sendiri, saya mungkin bisa jadi juaranya. Ini adalah hal yang tidak ingin saya teruskan ke anak-anak saya. 

Saya menyadari terlalu sering mengkritik anak adalah hal yang destruktif. Saya pernah baca sebuah kutipan yang artinya kira-kira, "Kalau kita berperilaku tidak baik kepada anak kita, mereka bukan akan membenci kita. Mereka akan membenci diri mereka sendiri."

Make sense. Tidak heran saya begitu ingin sekali mencari validasi orang lain. Pujian membuat saya lebih bersemangat untuk hidup, sementara kritikan kadang membuat saya mengutuk diri saya sendiri sampai berbulan-bulan lamanya. 

Sebuah video ibu terpuji yang menginspirasi

Suatu hari, saya melihat sebuah video yang sangat menyentuh. Seorang ibu dengan semangat dan ceria memberikan selamat kepada anaknya yang nilai raportnya jelek. 

Iya, kamu tidak salah baca, anaknya punya nilai raport yang jelek.

Si ibu membaca sebuah nilai mata pelajaran yang jelek, lalu dia tetap bertepuk tangan, gembira, dan memeluk anaknya. Dia ulangi lagi di mata pelajaran lain yang nilainya jelek. Semua nilai disambut dengan gembira. 

Mungkin kita menganggap, wah kasihan sekali anaknya, tidak termotivasi untuk belajar lebih giat lagi.

Tapi untuk saya yang kayaknya setiap pulang bawa nilai raport bagus, orang tua tetap akan bilang, "Kok nilai yang ini jelek? Kok cuma ranking segitu?" anak tadi adalah anak yang beruntung karena dicintai tanpa syarat. 

Air mata saya pun tumpah melihat video itu. Bukan bermaksud berlebihan, saya juga tidak bisa mengendalikan emosi yang muncul ketika menyadari betapa hausnya saya akan kalimat pujian. Kalimat yang memvalidasi bahwa apa yang saya lakukan sudah cukup baik.

Sudah cukup baik saja, bukan harus yang terbaik. 

Apa yang akhirnya saya lakukan ke anak saya? 

Anak pertama saya berusia 3,5 tahun. Dia suka berenang tapi tidak pernah sekali pun berani mencelupkan kepalanya di air. Ada air di wajahnya saja dia tidak suka, apalagi kalau kepalanya terbenam di bawah permukaan air. 

Beberapa hari yang lalu, saya dan dia berenang di sebuah kolam renang. Saya melihat ada seorang anak yang lebih kecil dari dia dan berani meloncat dari pinggir kolam ke pelukan ibunya. Saya bertanya ke anak saya, "Kamu mau coba kayak gitu?"

Dia mengangguk mau. Lalu mencoba menirunya. 

Awalnya dia terlihat takut dan ragu-ragu. Saya validasi emosi dia bahwa tentu menakutkan saat mencoba hal yang baru, tapi dia bisa karena saya akan menangkapnya. 

Dia akhirnya mengumpulkan keberanian dan melakukannya. Sukses. Kepalanya tetap di atas air, tapi setidaknya dia berani loncat dari pinggir kolam. 

Teringat akan si ibu di video tadi, saya pun merayakannya, "WAH KAMU HEBAT SEKALI! KAMU BERANI! MAMA SENENG BANGET LIAT KAMU BERANI! TADI KAMU LONCAT DARI SINI KAN! HEBAT SEKALI!" Kata saya sambil memeluknya dan meloncat-loncat ceria. 

Padahal dalam hati saya berkata, "Kepalanya masuk dong ke dalam air. Jangan segitu doang. Itu mah gampang. Coba liat adek tadi aja kepalanya basah."

Tapi saya memendamnya dalam-dalam. Alangkah lebih baik kalau saya tidak mengendurkan semangatnya untuk mencoba hal baru. 

"Ayo kita coba lagi!" kata saya. 

Dia mau. Dia coba lagi, coba lagi, coba lagi, begitu terus sampai dia tidak lagi merasa ragu meloncat dari pinggir kolam ke dalam air. Dia mulai melakukannya dengan berani dan percaya diri. 

Semua itu hanya karena setiap percobaannya saya rayakan dengan gembira. Saya tunjukkan setiap kemajuan kecil yang dia lakukan. Saya tunjukkan bahwa hebat sekali dia sudah mau mencoba. 

Coba bayangkan apa yang terjadi jika saya terus mengkritik ketakutannya? Apakah dia mau terus mencoba? Saya pikir tidak. 

Saya melihat sendiri bagaimana sebuah pujian kecil bekerja dan membuat perubahan.

Diam-diam air mata saya turun. Saya menghapusnya dengan menenggelamkan kepala saya ke dalam air kolam. Entah lah, saya sedang tidak ingin memperlihatkan emosi saya di depan anak ini. 

I wish I had a mom like me. A supportive mom. Someone who says that you are enough, what you have done is enough. 

Ah, sudahlah. Saya apresiasi diri saya sendiri yang sudah mencoba membuat perubahan yang tampak kecil, tapi sebetulnya hanya saya dan Tuhan yang tahu berapa banyak ego yang saya robohkan hanya demi bisa berkata, "Nak, kamu sudah cukup baik."

Komentar