Pengalaman Konseling Psikologi Online
Saya sudah lama merasa kalau ada yang salah dengan kesehatan mental saya. Saya sebetulnya pribadi yang bahagia, namun tiba-tiba saya merasa menjadi seorang yang hanya pura-pura bahagia saja.
Sejak hamil, saya merasa semakin kacau lagi. Kalian bisa membaca pengalaman kehamilan saya di sini dan bagaimana saya begitu cemas dan takut akan kehamilan saya. Saya seperti orang yang bingung arah. Saya tidak seperti ibu-ibu lainnya yang bisa terkoneksi dengan mudah dengan anak sendiri. Saya merasa belum bisa menerima semua ini. Tapi tidak tahu harus kemana.
Ketika anak saya lahir, saya merasa dia adalah kewajiban dan tanggung jawab saya. Saya HARUS merawatnya, bukan saya INGIN merawatnya. Saya stress sekali. Untung ketika itu, banyak orang yang membantu saya: suami, orang tua, dan pengasuh anak.
Pandemi juga memaksa saya bukan menjadi diri saya. Oh, tentu saja bekerja dari rumah lebih menyenangkan, selamat tinggal macet Jakarta! Tapi ketidakmampuan saya untuk melihat dunia luar selain rumah membuat saya sangat lelah.
Keadaan saya semakin astaghfirullah: sering tiba-tiba menangis, cari masalah terus dengan suami, merasa tidak mau mengurus anak, merasa tidak berguna, over over overthinking, dan susah sekali untuk bahagia. Kalau digambarkan, perasaan saya seperti orang sedang menundukkan kepalanya dengan wajah murung.
sumber: istockphoto.com |
Dengan dukungan suami, saya diminta ke psikolog. Tentu saja keputusan ini bukan keputusan yang mudah. Ada beberapa pertimbangan yang awalnya saya pikirkan.
Pertama, biaya ke psikolog ini lumayan mahal ya. Saya juga ga bisa pakai asuransi mana pun untuk ke psikolog.
Kedua, pandemi memaksa saya untuk melakukan online counseling. Saya tidak tahu apakah metode ini efektif atau tidak dan apa bedanya dengan konseling tatap muka.
Ketiga, saya kadang tidak merasa masalah ini terlalu berat. Saya takut sekali psikolog akan merasa, "eh, gila drama banget lo gini doang konseling."
Pemikiran yang terakhir ini lah yang membuat saya tegang semalaman. Takut dihakimi. Takut ga berjalan lancar. Saya akhirnya ngobrol dengan teman-teman saya yang sudah pernah ke psikolog dan mereka menguatkan saya kalau semua akan baik-baik saja.
Lalu datang lah pertemuan pertama itu....
sumber: www.123rf.com |
Pertemuan Pertama
Saya masih ingat perasaan saya sebelum pertemuan pertama. Saya tegang banget, saya ga tau mau diapain. Tangan dingin, muka pucat, gas di perut mulai banyak. Tentu saja tidak nyaman menceritakan tentang hidupmu di depan orang yang baru kita kenal.
Tapi psikolog saya benar-benar mendengarkan cerita saya. Saya akhirnya cerita segala macem saja secara liar. Saya menceritakan apa yang saya rasakan dan apa yang saya pikirkan. Mengerti kan bagaimana susahnya benar-benar bercerita kepada orang lain tentang apa yang sesungguhnya kamu rasakan dan pikirkan tanpa kena penghakiman atau counter argument?
Untuk memperjelas cerita saya (berhubung durasi yang hanya satu jam), psikolog meminta saya untuk mengerjakan tugas.
Tugas pertama: menuliskan surat untuk orang-orang yang saya sebutkan di dalam cerita saya saat konseling.
sumber: www.123rf.com |
Pertemuan kedua
Pada pertemuan kedua, saya lebih tenang dan sudah tahu medan. Psikolog memberikan analisis dari hasil tulisan saya. Analisis ini menjelaskan apa sebenarnya masalah saya dan hal ini menyebabkan saya bertindak apa. Intinya: saya tidak merasa diterima tanpa syarat dan saya terus merasa diterima sampe udah segede gini (tepok jidat).
Saya cukup terkejut sih betapa cepatnya psikolog menghubungkan bagian-bagian dari pengalaman saya yang membentuk saya berpikir sedemikian rupa. Sungguh ~ Terima kasih ilmu pengetahuan ~
Tugas kedua: menuliskan pengalaman ketika saya merasa tidak diterima dan menuliskan seperti apa kondisi yang seharusnya ideal menurut saya, menuliskan proses parenting saya dengan Hasina. menulis surat cinta untuk suami tapi tidak menyebut orang lain, termasuk anak, hanya menyebut hubungan kami berdua (TERNYATA SUSAH BANGET ASTAGA).
sumber: www.123rf.com |
Pertemuan ketiga
Ternyata diagnosis tidak sampai di situ saja, di pertemuan ketiga, psikolog membahas hubungan antara saya dengan suami dan anak, lalu diberikan tips-tips bagaimana menyelesaikan masalah self worth saya. Gampangnya gini: mau saya diterima oleh universitas paling top sejagad raya, diterima kerja di tempat paling bergengsi dan bergaji gede, dicintai sampai mati sama pasangan, dan disayang banget sama teman-teman, saya tidak akan merasa diterima kalau saya tidak menerima diri saya sendiri.
Makanya saya merasa aduh ga jelas banget sih lo hidup ga berguna, ga ada yang menerima elo di dunia ini. Padahal sebenarnya itu hanya berasal dari pikiran saya sendiri. Duh.
Tugas ketiga: menulis pencapaian-pencapaian yang pernah saya raih.
sumber: www.123rf.com |
Pertemuan keempat
Di pertemuan keempat, saya mencoba untuk ikut sesi konseling bersama psikolog lainnya karena tidak menemukan jadwal booking yang pas dengan psikolog saya yang sebelumnya. Kebetulan yang beliau lakukan hanya follow up saja perkembangan saya jadi saya tidak perlu cerita dari awal.
Saya merasa semesta mendukung banget deh pas sesi ini. Beberapa hari sebelumnya, saya ngobrol dengan teman mengenai mindfulness. Eh ndilalah, psikolog ini praktisi mindfulness. Beliau memberikan tips-tips penanganan emosi tapi lebih ke: mengutamakan sehat fisik dulu baru sehat mental terus maksimalkan sensing (agar lebih here and now, maksimalkan fungsi panca indera, ga tau nih gimana ngejelasinnya secara singkat, wqwq).
Tugas keempat: ga dikasih tugas
sumber: www.123rf.com |
Pertemuan kelima
Akhirnya setelah dapat jadwal yang cocok, saya melanjutkan konseling dengan psikolog lama. Sesi ini banyak membahas hubungan saya dan orang tua dari hasil menulis pencapaian saya. Sesi ini sungguh menguras air mata, ahahahahah. Psikolog lalu membahas pengaruhnya ke hubungan pernikahan saya sekarang.
Tugas kelima: menuliskan hubungan Anto dan orang tuanya, menuliskan kebutuhan Anto yang sudah dan belum terpenuhi
sumber: www.123rf.com |
Pertemuan keenam
Setelah panjang kali lebar perjalanan saya konseling. Saya akhirnya dikasih bagan dan penjelasan skema (?) Cognitive Behavioral Therapy. Ini adalah penjelasan ilmiah diagnosis gangguan mental yang saya rasakan dan CBT adalah jenis terapi yang akan saya dapatkan.
Di sesi ini juga dijelaskan mengenai keadaan Anto untuk melihat dari sudut pandangnya kenapa dia melakukan ini dan itu, mungkin beberapa dari itu ada yang membuat saya mengenang luka-luka saya di masa lampau.
Tugas keenam: dikasih workbook berisi 15 cognitive distortions dan penjelasannya, saya diminta memberikan contoh cognitive distortions mana saja yang relevan dengan saya.
Saya juga diminta untuk banyak melakukan ini:
- Journaling (harus tulis tangan di kertas yang ga ada garisnya)
- Mindful breathing 4-7-8 (4 hitungan tarik napas, 7 hitungan tahan napas, dan 8 hitungan hembuskan)
- Progressive muscle relaxation (ada di YouTube contohnya)
Anto dikasih tugas juga untuk menuliskan review peran dia (sebagai suami, bapak, anak, menantu, dll) dan pandangan dia terhadap hubungan maternal (dia dan ibunya, saya dan Hasina, saya dan ibu saya).
sumber: www.123rf.com |
Pertemuan ketujuh
Kali ini ada yang berbeda loh! Anto yang konseling, haha. Bukan, bukan Anto yang konseling soal masalah hidup dia. Anto dijelaskan oleh psikolog mengenai kondisi saya. Anto juga dijelaskan dos and don'ts dalam "merawat" saya.
Psikolog memang biasanya menyediakan waktu untuk significant other para klien untuk mengetahui kondisi klien yang sebenarnya. Sayangnya, ga semua orang punya keberuntungan macam saya ini. Ya, ga semua pasangan mau tau apa yang terjadi sama pasangannya. Saran aja nih, kalau pasangan kamu kayak gini yaudah pisah aja apalagi kalau masih pacaran, huh.
Kasihan sih sebenarnya kita baru nikah dan dia harus berhadapan dengan seluruh penyakit saya yang sudah dibawa sejak puluhan tahun yang lalu. Tapi ga ada orang lain yang bisa saya percaya untuk merawat saya selain dia. Saya sembuh, saya hepi, dia hepi. Ya harapannya begitu.
sumber: www.123rf.com |
Pertemuan kedelapan
Setelah Anto konseling (yang katanya seru banget sampai waktunya telat setengah jam), saya diceritakan tentang hasil konseling bersama Anto. Beberapa fakta baru saya ketahui dan sungguh memang kalau sudah menikah, penting banget untuk melihat dari pandangan kedua belah pihak karena pengalaman masa lalu membuat pola pikir dua orang pasti berbeda.
Selain itu, psikolog melakukan review untuk 15 cognitive distortions yang saya isi. Kata psikolognya saya termasuk cepat dan responsif dalam mengerjakan tugas ini karena kebanyakan orang justru tidak mau berpikir panjang untuk mencocokkan distorsi dengan masalahnya. Tugas psikolog tinggal mengkonfirmasi apakah contoh yang saya berikan sudah sesuai dengan maksud yang sebenarnya.
Tugas kedelapan: diberikan cognitive restructuring worksheet: isinya menantang ulang pikiran saya sendiri dengan tujuh cara, yaitu awareness, socratic question, possible outcomes, evidence, advantages and disadvantages, improve communication, dan self standard.
Pertemuan kesembilan
Selang sebulan setelah konseling terakhir, saya akhirnya baru bisa konseling lagi. Awalnya gara-gara saya tidak mendapatkan jadwal psikolog dan saya kadung sibuk dengan kerjaan. Sebelumnya saya putus asa banget karena susah sekali mengaplikasikan tugas yang kedelapan dan saya merasa kesehatan mental saya masih.... tida jelas ~
Psikolog pun rekap hasil cognitive restructuring yang saya lakukan secara mandiri. Walaupun saya sempat putus asa dengan ketidakmampuan saya mengerjakan tugas ini, ternyata psikolog mengatakan kalau saya sudah melakukan beberapa hal dengan baik: awareness, improve communication, dan self standard.
Psikolog lalu menjelaskan cara-cara lain yang belum mampu saya lakukan dan bagaimana saya bisa mengaplikasikannya dalam hidup saya. Alhamdulillah setelah sesi ini, perjalanan konseling saya yang panjang kali lebar ini pun dinyatakan selesai :)
Most of the time, it's not you, it's not you that should be accussed to be wrong, weak, useless, and unworthy. It's not you, my darling. It's only in your mind.
CATATAN:
Saya melakukan konseling di Ibunda, kamu bisa menemukan berbagai layanan mereka di instagram @ibunda.id
Psikolog saya bernama Adhesatya Ningsih yang sangat pengertian dan apa adanya, terima kasih Kak Adhes :)
Saya senang sekali jika ada yang ingin bertanya mengenai hal ini dengan saya.
Semoga kita bisa menerima hidup dengan apa adanya.
Komentar
Posting Komentar