Memeluk Diri Saya, Zaskia Adya Mecca, dan Perempuan Lainnya yang Pernah Menangisi Kehamilan

Source: pixabay.com

Hampir semua wanita memimpikan diri mereka menjadi ibu. 

Hampir semua karena ada juga yang tidak menginginkannya. Hampir semua karena ada juga yang menginginkannya, tapi tidak saat ini, tapi tidak seperti ini, dan segala tapi lainnya.

Saya menemukan channel YouTube milik Zaskia Adya Mecca dan keluarganya melalui rekomendasi. Judulnya menarik, "Sempet Mau Gugurin Kehamilan Anak Ke-5??!!" (the title is exactly like this with capital letters). Sungguh sangat click bait dan mendorong saya untuk menontonnya. Ternyata walaupun awalnya saya mencibir pemilihan judul, isi dari vlog mereka sangat menarik untuk dibahas.

Zaskia dan Hanung Bramantyo sudah punya empat orang anak dari pernikahan mereka. Hanung memiliki satu anak dari pernikahan sebelumnya. Pantas jika mereka tidak ingin memiliki anak lagi. Rencananya tahun ini pun mereka akan berangkat haji bersama teman-teman mereka. Namun, Zaskia menemukan dirinya hamil lagi untuk yang kelima kalinya. Dan dia menangisi kenyataan itu.

Terdengar aneh? Jahat? Tidak benar?

Iya, kalau pakai standar kebanyakan orang. Kita tidak berjalan menggunakan sepatu Zaskia, jadi kita tidak benar-benar tahu apa yang dia rasakan. Punya empat anak, plus satu anak tiri, sudah cukup untuk dia. Kini dia harus bersiap menyambut satu anak lagi dan menggagalkan rencana naik haji. Semua anaknya, dia bilang, lebih senang bersama ibu mereka dibanding ayah mereka. Kita tidak pernah tahu kerempongan macam apa yang dia rasakan setiap harinya. Ditambah dirinya yang sedang hamil.

Dia mengaku menangis terus saat pertama kali tahu hamil dan berniat menggugurkan kandungannya. Tapi akhirnya mereka tidak jadi melakukannya. Di usia kehamilan yang sudah 30 minggu, Zaskia baru berani bercerita kepada publik. Dia bilang, "Ini juga sebagai contoh bahwa tidak semua yang terlihat di social media itu adalah hal yang sesungguhnya. Bisa jadi dia terlihat bahagia, padahal sebenarnya tidak seperti itu."

Kenapa saya tertarik untuk membahasnya? 

Karena saya mengerti rasanya dan ingin memeluknya. 

Saya pernah stress ketika tahu saya hamil. Saya merasa bersalah karena perasaan ini. Tapi pengalaman Zaskia membuat saya mengerti: tidak semua perempuan menjalaninya dengan mudah dan bahagia. Tidak apa-apa jika kamu merasakan apa yang kamu rasakan. Kamu tidak jahat, aneh, dan ayolah, kamu pun benar. Semua perasaan itu valid.

Saya memang tidak punya lima anak seperti Zaskia, tapi bukan berarti saya tidak punya alasan kenapa saya bersedih. Saat itu, saya berpikir bahwa anak adalah beban. Saya sedang berada pada kondisi yang rapuh (nanti saya cerita soal mental illness yang saya alami dan mempengaruhi cara saya berpikir). Saya tidak mampu mencintai diri saya sendiri dan saya tidak tahu harus memberikan cinta semacam apa untuk bayi saya ketika saya sendiri tidak memilikinya.

Ketika menikah, saya baru kenal dengan suami saya dan saya kesulitan menemukan peran serta kontribusi saya dalam hidupnya. Yes, bahkan menuliskan Peran Saya untuk Indonesia saja terasa lebih mudah dibandingkan menuliskan Peran Saya dalam Kehidupan Suami. Saya baru tiga bulan berusaha saling mengenal sebelum saya tahu kalau saya hamil.

Saya baru tiga bulan juga pindah ke rumah suami. Saat itu, kita sedang membangun lantai dua untuk memberikan lebih banyak ruang. Tapi yang terjadi malah saya semakin stress karena tidak memiliki privasi di rumah (yang penuh dengan keluarga suami dan tukang-tukang). Saya merasa sangat tidak nyaman. Di jam pulang kantor, sering kali saya nongkrong dulu di suatu tempat karena tidak ingin pulang. Pernah juga saya menangis sendirian di mushola karena saya tidak ingin pulang. Rumah itu tidak terasa seperti rumah saya.

I did not know what to do. Saya merasa buruk karena merasa tidak bahagia ketika tahu hamil. Saya tidak mengatakan ini kepada siapa pun karena saya merasa ini tidak benar. Saya harusnya bersyukur.

"Harusnya bersyukur" ini memang masalah. Bersyukur ternyata tidak perlu pakai kata harus. Ketika kita sedih dan memaksa diri kita bersyukur, yang ada malah kita semakin tidak bersyukur.

Saya mulai bertingkah. Menangis tanpa alasan. Marah-marah kepada suami tanpa alasan. Mencari-cari alasan untuk bisa pulang ke rumah orang tua.

Pernah suatu kali, saya bertengkar hebat dengan suami saya. Saya marah sekali, membanting pintu kamar, menangis sepanjang malam, dan merasa membenci anak ini. Saya merasa dia adalah beban yang diberikan oleh laki-laki yang tiba-tiba menikahi saya, tapi tidak mau mendengarkan saya. Ketika itu, saya tidak suka berada dalam keadaan mengandung anak darinya.

Sama seperti Zaskia, saya tidak mengatakan kepada siapa pun kalau saya hamil. Saya hanya memberikan kabar kepada keluarga dan teman-teman kantor karena mereka yang paling sering bersinggungan dengan saya. Teman saya yang lain "terpaksa" saya beritahu karena ada keperluan. Salah satu dari mereka karena saya akan pergi conference bersamanya, tapi saya batalkan karena saya hamil. Seorang lain saya beritahu karena dia menikah di luar kota, tapi saya tidak bisa pergi ke sana karena sedang hamil muda.

Ada dua orang lain yang akhirnya bertemu saya karena salah satu dari mereka akan berangkat S3 ke Irlandia. Di sana mereka baru tahu kalau saya hamil, itu sudah minggu ke-14 atau 15, saya sudah lupa. Oh, satu orang lagi adalah Dara, sahabat saya. Kami bertemu ketika saya baru hamil 10 minggu dan saya bercerita kepadanya tentang kehamilan saya.

Saya tidak memberi tahu orang lain karena saya tidak nyaman ketika ada orang lain yang memberikan selamat, apalagi secara berlebihan, padahal saya sendiri tidak merasa ada yang perlu diberi selamat. Seandainya kalian tahu apa yang saya rasakan, kalian mungkin tidak akan memberikan selamat kepada saya.

Saya menutup akun instagram saya yang lama, yang banyak followers-nya, karena saya mulai merasa tidak nyaman berada di sana. Saya meneruskan akun anonim saya dengan membiarkan teman-teman dekat mengikuti saya di sana. Itu pun saya baru mengaku hamil ketika sudah memasuki minggu ke-22. Sebelumnya, saya diam saja. Masih ketakutan diberi selamat. Ketakutan dengan beban menjadi seorang ibu.

Padahal kalau dipikir-pikir, saya sebenarnya menyukai anak-anak. Saya pernah tinggal bersama bayi dan ikut membantu proses pertumbuhannya ketika kedua keponakan saya masih serumah dengan saya. Saya juga pernah mengasuh anak teman saya ketika S2 karena kedua orang tuanya sibuk mengerjakan hal lain. Suatu hari, saya pernah membantu mengasuh keponakan saya sampai saya terlambat datang ke sebuah kelompok pengajian. Ketika memberikan alasan keterlambatannya saya, teman saya berkata, "Ini nih tante idaman."

Tentu sebenarnya, tidak ada alasan saya tidak akan menjadi ibu yang baik. Tapi kalimat "ibu yang baik" ini sangat mengganggu saya, seakan saya jauh sekali akan label ini.

Tidak seperti Zaskia yang akhirnya menerima kehamilannya, saya tidak ingat kapan saya akhirnya menerima kehamilan saya. Mungkin saya malah tidak pernah benar-benar menerimanya sampai dia benar-benar lahir. Itu pun saya masih susah payah berusaha mencintainya. Hasina, anak saya yang lucu dan baik sekali, lalu mencuri perhatian saya, dan mencuri semua cinta yang saya miliki.

Meskipun jauh di dalam hati saya, saya masih merasa bersalah karena pernah menangisi kehadirannya.

*****

Jika kalian adalah perempuan yang beruntung, yang bahagia hatinya karena tahu sedang hamil, saya ucapkan selamat. Berbahagialah karena tidak semua perempuan merasakan apa yang kalian rasakan. Sebagian malah butuh waktu sangat lama untuk pulih dari rasa tidak bahagia.

Jika kalian adalah perempuan yang pernah menangisi kehamilannya, saya ingin memeluk kalian. Kita tidak buruk dan menolak menjadi ibu yang buruk.

Komentar

  1. I feel you, dear... Semangaat...semoga dimudahkan menjadi ibu yang bahagia

    BalasHapus

Posting Komentar