MANTEN (5): Akhirnya menulis lagi

Ke mana saya selama ini? Kenapa tidak memperbaharui serial manten?

Hhhhmmm.. Kebetulan saya agak shock karena ternyata blog saya dikepo banyak orang -..-

Saya benar-benar tidak keberatan jika orang tersebut kenal dengan saya, jadi mungkin mereka bisa memberikan sebuah kesimpulan yang objektif tentang saya. Tapi kalau belum kenal, tiba-tiba kepo lewat blog, lalu tiba-tiba menghakimi saya, kok ya agak malas ya ~

Saya sampai menghapus link blog ini dari profil instagram saya karena saya benar-benar malas di kepo. DUH.

Entahlah, mungkin ini hanya dalam pikiran saya saja yang selalu merasa diri saya below average dan kurang waras ini, huhuhu. Dan saya tahu kalau fans-nya Anto tersebar di segala penjuru negeri jadi mereka pasti semacam mencari jawaban dari sebuah pertanyaan "what's so special from this girl, huh?"

Saya kasih tau sekarang ya: nggak ada yang spesial. Mohon maaf. Anda mungkin lebih spesial, tapi Anto nikahnya sama saya tuh, WQWQ #keplak

*****

Oke, kita skip bagian manten-mantenan karena saya masih malas menulis soal itu. Sekarang saya mau menulis tentang kenapa saya jadi semakin jarang menulis setelah menikah.

Sejarahnya begini, saya termasuk orang yang rajin menulis. Ringan pastinya. Tidak perlu terlalu berat, pusing bos. Saya menulis untuk bersenang-senang, kalau bisa menginspirasi bagus, tapi mostly saya hanya menulis sebagai hobi saja. Basically, saya orang yang tidak terlalu pandai berbicara, tapi saya bisa sangat ramai ketika menulis.

Waktu masih single, momentum menulis saya adalah sebelum tidur. Sambil guling-guling di kasur, saya akan menulis. Momentum lainnya adalah jika saya berada di kendaraan umum: KRL dan damri bandara adalah dua tempat favorit saya untuk berkontemplasi, lalu menulis.

Setelah menikah, saya kehilangan kedua momentum ini. Sebelum tidur, ada Anto di depan mata saya. Apa kabarlah, kami malah ngobrol, mulai dari cerita ringan sampe obrolan selevel diskusi kebangsaan. 

Saya juga tidak lagi menggunakan KRL ke kantor. Saya menggunakan Bus Trans Jakarta sekarang. Karena kebetulan kantor saya dan Anto sebelahan, kami berangkat bersama ke kantor. Momentum untuk menulis? Tidak ada, karena kalau tidak ngobrol, salah satu dari kami akan memilih untuk tidur di bus.

Pulangnya pun, saya sering menunggu dia selesai bekerja. Saya lebih memilih untuk pulang bersama ketimbang krik krik pulang sendirian, kalau sudah macet ya gabut banget lah, kalau rajin sih bisa kali bikin satu bab novel setiap harinya di tengah kemacetan. Tapi kan saya tidak sebrilian itu ya guys.

Gara-gara ini, saya jadi kurang produktif menulis. Otak saya sudah tidak terbiasa lagi mencari kata-kata ketika sedang bengong. Abisnya sekarang hampir selalu ada yang menemani kaaaannn....

Saya termasuk tipe yang tidak bisa berpikir kalau ada orang lain di sekitar saya. Kecuali kalau saya tahu dia sedang punya kesibukan lain, oh kalau sedang begitu pun saya punya waktu untuk kontemplasi, konsentrasi, lalu menulis.

*****

Tapi bagaimana pun juga, dialog saya dengan Anto memang tidak pernah membosankan. Saya pikir di dunia ini memang ada dua cara untuk olahraga otak: pertama, menulis, dan kedua, berdiskusi.

Saya suka ngobrol, yang ringan maupun yang tingkat dewa. Sayangnya soal ngobrol, kita benar-benar harus menemukan partner yang tepat. Tidak semua orang satu frekuensi dengan kita dan tidak semua orang bisa menerima cara kita berbicara. 

Saya juga tidak tahu kapan saatnya kata "ngobrol" ini bisa ditingkatkan ke kata "diskusi". Nampaknya ngobrol hanyalah untuk yang ringan-ringan dan diskusi adalah untuk yang berat-berat. Meskipun kalau kita jeli, yang ringan itu bisa jadi bahan pembelajaran seumur hidup. Jadi seringnya, saya ingin agar obrolan saya cukup dalam dan berkualitas agar tidak menjadi sia-sia belaka.

Seperti bisa ditebak, salah satu alasan kenapa saya menikah dengan Anto adalah karena kualitas ngobrol kami. Kata Mbak Annye dulu, menikahlah dengan orang yang bisa kamu ajak ngobrol. Dan begitulah, saya menyadari kalau nasihat itu ternyata benar-benar emas. Apa jadinya kalau setiap hari kamu harus deal with orang yang komunikasinya sama kamu tidak secair itu dan dialog kalian tidak pernah panjang. Basi sis, basi ~

Eits, bukan berarti kami tidak pernah ngobrol receh ya, duh ampun kalo kayak gitu mah jadi partner penelitian aja kali ga usah nikah. Receh itu adalah sebuah keniscayaan, meskipun kamu menikah dengan orang paling serius sedunia. Kayaknya yang serius itu bakalan cari pasangan yang receh sih. At the end of the day, ga ada seorang pun yang mau pulang ke rumah lalu muter otak terlalu dalam lagi kan? Semuanya ingin rileks, semuanya ingin pasangan yang masih bisa ketawa-ketawa dalam situasi sesuram apapun.

Karena itulah konon katanya, YOUR COMEDY LEVEL IS MORE IMPORTANT THAN YOUR BEAUTY! Wahai para wanita, camkan itu baik-baik!

Hari ini saya menulis lagi....

Di kamar hotel, sendirian. Saya sedang dinas. Suami ada di kota lain di pulau seberang. Saat-saat seperti ini adalah momentum emas untuk menulis.

Sudah lama saya mulai berhenti menulis, saya tidak suka menjadikan menikah sebagai alasannya, tapi memang begitulah adanya. Syukurlah, otak saya tetap bekerja dengan cara berdiskusi dengan pasangan saya. Saya sudah terlalu lama berada di zona nyaman berpikir sambil menulis, sekarang saya masuk ke zona yang berbeda di mana kemampuan saya untuk berpikir lalu berdiskusi masih berada di bawah tulisan saya yang "ramai".

Eh ga tau ding, tanya aja sama Anto. Hahahah. Saya sih merasa saya masih tidak bisa sebaik itu ketika berbicara dibandingkan ketika saya menulis.

Well, karena saya pengikut aliran Pramoedya Ananta Toer yang percaya bahwa menulis akan menjadikan pikiranmu abadi, lain kali saya akan menuliskan hasil-hasil dialog saya sama Anto (pake notulensi, wakakak). Dan tentu saja saya akan memaksa Si Anto untuk menulis. Siapa tahu bisa bikin buku bareng, cie..

Makassar, 23 April 2019
Pernikahan hari ke-51

Komentar