The best time to travel is when you hate your life the most

“Net, ikut yuk!”

Demi apapun Kanetasya adalah makhluk yang gampangan. Mureh. Diajak kemana pun, saya lebih sering excited dibandingkan males (asal ga diajak nonton film superhero, plis, buat saya itu ga menarik).

Dan yang bahaya adalah kalau yang ngajak adalah sohib kental bernama Dara Pratiwi yang jiwanya menemukan banyak persamaan dengan jiwa saya. Kali ini dia mengajak saya ke Pulau Pari.

Yah, saya sih belum pernah ke Pari. Satu-satunya tempat di Kepulauan Seribu yang pernah saya datangi adalah Pulau Pramuka. Pulau yang disebut terakhir ini adalah tempat pertama saya snorkeling di muka bumi ini. Setelah itu, yang namanya snorkeling adalah hobi utama saya. 

Entah gimana, mungkin karena ekosistem saya yang sesungguhnya adalah laut (maksudnyeee), sekali diajak snorkeling, saya langsung bisa padahal ga diajarin dan ga di briefing sama sekali. Langsung aja gitu terjun dari atas kapal ke tengah laut, tapi ya mendadak bisa aja saya tetiba wara-wiri ke sana ke mari menikmati hidup. Di situ kadang saya merasa bangga pada diri sendiri.

Anyway kembali ke Pulau Pari, jadi Dara mengajak saya untuk ikutan acara ulang tahun sebuah komunitas bernama Wabe Project yang akan dirayakan di Pari. Saya dan dia nebeng doang sebagai tamu dan followers. Saya sendiri merasa santai bisa jalan-jalan dengan orang yang sebelumnya tidak dikenal karena toh nanti bakal jadi teman juga.

“Tapi kamu cerita ya nanti, kamu kenapa,” pesan si Dara.

Ya udah, dua jam perjalanan dari Pelabuhan Kaliadem ke Pulau Pari sepertinya cukup untuk menceritakan masalah kesehatan mental saya ke Dara, sampai ke kerak-keraknya.

I hate my life…

Dari perjalanan ke Bali, sebenarnya saya sudah mulai benci banget sama hidup saya. Kayaknya semua impian untuk masa depan tuh mentok semua dan saya tidak menemukan jalan keluar untuk semua masalah itu.

Saya kesal sekali.

Karena stress, saya akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan di Bali, sama si Dara. Hahaha.

Saya pikir jalan-jalan sebentar mampu lah menghilangkan kepenatan saya. Saya berharap setelah pulang dari jalan-jalan, pikiran saya sudah fresh dan bahagia.

Tapi saya salah.

Masalah saya masih tetap ada dan saya masih pontang-panting menghadapinya.

Tapi saya menyadari satu hal.

Jalan-jalan memang tidak akan mampu menyelesaikan masalah saya, tapi setidaknya dengan jalan-jalan, saya bisa memikirkan hal lain selain masalah hidup saya.

Setidaknya dua-tiga hari saja saya tidak memikirkan betapa ngeselinnya hidup ini, betapa nyebelinnya orang-orang di luar sana, betapa kurangnya apresiasi yang diberikan terhadap saya, dan betapa apapun yang saya lakukan sepertinya hanya akan menjadi seonggok sampah.

Setidaknya satu hari satu malam saja, saya menikmati hidup ini. Menikmati pemandangan, menikmati perjalanan, menikmati pagelaran. Menikmati betapa indahnya hal simpel seperti: tau harus kemana dan akan melakukan apa di sana.

Sesimpel itu. Tapi ternyata penting untuk memperpanjang harapan hidup saya.

Jalan-jalan supaya punya tujuan

Saya adalah pengabdi target dan tujuan. Semua harus ada tujuannya. Setelah saya review ulang, salah satu hal yang membuat saya tergila-gila untuk jalan-jalan adalah: karena ketika jalan-jalan, ada tujuan di kepala saya. Masa iya jalan-jalan tapi ga tau mau kemana? Duh saya mah anaknya tidak pernah secuek itu.

Hal ini saya sadari ketika saya berada dalam kereta Argo Parahyangan dari Bandung ke Jakarta. Kereta ini merupakan kereta favorit saya karena pemandangannya yang sedap mantap. Saya berada dalam kereta itu setelah minggu-minggu yang paling buruk dalam hidup saya dan di kereta itulah pertama kalinya saya menikmati hidup ini lagi. Bukan hanya karena pemandangannya, melainkan juga karena saya menikmati tenangnya pikiran saya ketika saya punya tujuan di kepala saya, walaupun hanya hal kecil seperti: balik ke Jakarta, lalu makan KFC, pulang ke kost, lalu beresin kosan.

Sejak dari Bali, saya pun menjadikan jalan-jalan sebagai (mungkin) satu-satunya tujuan hidup saya yang masih kelihatan menarik, selain tentu saja untuk beribadah. Picik banget sih. Simpel banget. Terserah sih kalau mau bilang egois banget, jadi keberadaan saya tidak akan mampu membawa manfaat bagi orang lain karena cita-cita saya se-ga penting: gue mau jalan-jalan.

Well, kalau boleh jujur sih, jalan-jalan jadi tujuan hidup KARENA TUJUAN HIDUP SAYA YANG LAIN SUDAH MENTOK. Benci banget kan? Tapi itulah yang sedang saya rasakan.

Setidaknya dengan berjalan-jalan, saya melakukan sesuatu untuk diri saya sendiri deh. Benerin diri sendiri dulu gitu.

Saya menyadari kalau saya tidak pernah secinta itu sama diri saya. Saya terlalu sering dzolim dan terlalu keras sama diri sendiri.

Sometimes, I just need to chill. Relax. Ikutin aja apa yang sedang dialami saat ini. Nikmati saja karena mungkin suatu saat nanti, saya juga akan merindukannya. Manusia mah emang ga pernah puas.

And yes, Kanetasya, you are worth. Kamu tidak seburuk yang kamu pikirkan dan kamu tidak sebodoh yang kamu pikirkan.

Buktinya saya bisa bantuin orang-orang buat calm down ketika di tengah laut. Membantu mereka enjoy terombang-ambing ombak dan menarik mereka ke tempat yang aman kalau mereka sudah mulai panik. That feeling waktu saya merasa berguna buat orang lain.

Memang dari dulu saya anaknya tut wuri handayani.

Ke laut aja lo ~

Karena saya anaknya kebanyakan mikirin hidup dan akhirnya malah constantly complaining (kadang terlalu normatif juga kali ya, semua harus sesuai dengan kondisi yang menurut saya ideal), saya jatuh pada kebingungan yang sulit diuraikan. Ternyata, that's so dangerous. Sekali jatuh ke pikiran itu, saya kayak kehilangan kewarasan kalau hidup tidak harus dipikirin segitunya. 

Hidup mah dijalanin aja kakaaaaak ~~~

Tapi buat saya, ga bisa segampang itu dooong. Harus tau mau ngapain dooong. 

Saya cenderung lupa kalau hidup itu sebenarnya menyenangkan, kalau kita tidak selalu mikirin bagian yang kurang menyenangkan. Keindahan itu dapat dilihat tergantung dari sisi mana kita melihatnya.

Setelah kontemplasi di laut dan enjoy being me, saya pun mulai menikmati hidup lagi. Menikmati kalau berenang adalah candu. Menikmati kalau tidur sekamar berdua sama sahabat dari kecil adalah nyaman. Menikmati kalau makan ikan bakar adalah enak. Menikmati kalau I love dancing dan lagu dangdut sebenernya enak banget untuk dinikmati dengan badan (goyang cuuuyyyy). Menikmati kalau I should appreciate every feeling that I have. Mau itu seneng, sedih, kezel, terharu, pengen nabok. It's just me, being me.

And life doesn't suck at all. Memang kadang hidup berantakan. Bukan cuma kadang sih, sering, selalu kalo perlu. Tapi masih ada hal-hal kecil yang perlu diapresiasi. Seperti kemampuan saya untuk melakukan hal-hal yang saya suka dan tidak membiarkan orang lain mengatur-atur bagian itu. 

I love travelling dan saya mengapresiasi diri saya karena excitement yang selalu muncul dari dalam diri saya ketika jalan-jalan. Saya mengapresiasi kemampuan saya untuk deal dengan rekan-rekan satu perjalanan. Saya mengapresiasi keberanian saya untuk tetap pergi berlibur meski dengan kantong tipis sekali pun, yah rejeki mah pasti ada aja, tapi kesempatan itu yang ga selalu ada.

Even though in many times, I hate me and I hate my life but it never shows up when I  am travelling. It just slightly disappears...

Dan kalau saya kumat lagi, saya sekarang tahu saya harus kemana dan ngapain. KE LAUT AJA LO...

That moment ketika ikan lebih fotogenik daripada gue

NB:

Saya menulis tentang it-definitely-might-be-a-depression-and-anxiety-disorder di beberapa tulisan sebelumnya. Please kindly check out the list down below or just follow the labels "random notes about depression":

1. The days when life was just for meaningless letters
2. Dear all, I need to talk (1): Advice from my murabbi
3. Dear all, I need to talk (2): How I try to shut down my own mind every single day

Love, Kanetasya.

Komentar