Bertemu Pelaut Terbaik Dunia Di Komodo

“Kok seram mukanya?” celoteh teman saya sambil berbisik-bisik ketika pertama kali bertemu kapten kapal kami di bandara.

Namanya Herman, kulitnya hitam terpapar matahari, badannya tidak terlalu tinggi, dan gaya bicaranya menunjukkan aksen sebuah daerah di Indonesia, saya kira aksen itu adalah aksen lokal orang Flores, tapi belakangan saya menyadari kalau ternyata saya salah.

Sepanjang perjalanan, saya dan tiga teman yang lain memanggilnya dengan “Bang” karena kami tidak tahu bagaimana orang lokal memanggil pria yang lebih tua dari kami. Bang Herman menemani kami selama perjalanan tiga hari dua malam di kawasan Taman Nasional Komodo, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Sepanjang perjalanan itu juga, kami menghabiskan waktu di kapal sederhana berukuran kurang lebih 2 x 20 meter milik Bang Herman. Kapal berwarna dominan biru dengan sedikit cat kuning itu tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi untuk mencapai pulau-pulau di kawasan taman nasional, kapal itu juga menjadi tempat tinggal sementara kami. 

Dalam perjalanan itu, kami memang harus makan, mandi, dan bahkan tidur di atas dek kapal karena untuk menjangkau pulau-pulau terpencil di kawasan Taman Nasional Komodo, tidak memungkinkan untuk mencari penginapan di daratan.

Saya di Pulau Padar, terlihat di kejauhan kapal biru kuning milik Bang Herman yang kami tinggali selama dua malam (Foto oleh: Fahmi Adimara)

Sebagai kapten kapal, Bang Herman sangat cekatan mengurus perjalanan kami. Seluruh pekerjaan beres dilakukannya dengan bantuan rekannya yang bernama Bang Markus. Namun tidak seperti Bang Markus yang pemalu, Bang Herman sangat ramah, suka bercanda, dan asyik diajak berbicara.


Pelaut Bugis

“Bang, ajarin saya bahasa Flores dong!” kata saya iseng kepada Bang Herman suatu senja ketika kapal kami dilabuhkan di seberang Pulau Komodo untuk bermalam di sana.

“Saya tidak bisa bahasa Flores,” jawabnya.

Lah, bisanya bahasa apa?” bingung, saya balik bertanya lagi.

“Saya orang Bugis, jadi bicara bahasa Bugis.”

Walah, saya baru tahu kalau aksen yang selama ini dia miliki adalah aksen suku Bugis, bukan aksen suku Flores seperti yang saya kira sebelumnya. Menurut Bang Herman, banyak penduduk di Labuan Bajo, kota pelabuhan terdekat dari Taman Nasional Komodo, bukan orang asli Flores, melainkan para pendatang. Kebanyakan dari pendatang ini selain berasal dari Jawa, juga berasal dari Bugis, seperti dirinya yang orang tuanya merantau ke Flores saat dia masih kecil.

Lanjutnya, dia mengatakan tak ada orang asli Flores yang mempunyai rambut lurus seperti dirinya. Semua orang asli Flores memiliki rambut ikal. Saya lalu memperhatikan Bang Markus yang berambut ikal.

“Jadi Bang Markus ini orang Flores?” tanya saya yang diiyakan oleh Bang Herman. Oke, sekarang saya mengerti bagaimana membedakan orang asli Flores dan warga pendatang.

Bang Herman lalu banyak bercerita tentang kehidupannya yang lebih sering dihabiskan di laut daripada di daratan. Bagaimana dia hapal ikan-ikan apa saja yang berada di perairan sekitar, bagaimana dia tahu tempat mana yang paling bagus untuk dinikmati, bagaimana dia sudah sangat paham cara mengendalikan kapal dalam situasi apapun, bagaimana dia dengan santai menyelam hingga ke kedalaman 10 meter tanpa bantuan alat pernapasan dan dia juga mengerti prediksi cuaca ke depan hanya dengan melihat awan.

Pengetahuan dia soal laut mengingatkan saya akan sebuah cerita dari buku Ring of Fire karya Lawrence Blair, salah satu buku terbaik yang pernah saya baca. Dalam perjalanannya ke Sulawesi, Blair sempat singgah di tempat pembuatan kapal phinisi dan bertemu dengan para pelaut dari suku Bugis. Dia pun memuji keterampilan orang Bugis sebagai pelaut. Pelaut Bugis bahkan dicapnya sebagai pelaut terbaik sedunia.

Bang Herman pun mengamini pendapat tersebut. Dia merasa dirinya dan orang-orang suku Bugis lainnya memang sangat dominan di laut. Tak heran di daerah seperti Flores yang masyarakat lokalnya lebih banyak bertani, para pelaut Bugis lebih banyak berdomisili di daerah pesisir pantai, sedangkan para penduduk asli Flores lebih memilih bertani di perbukitan.


Unggul Di Laut, Tangguh Di Darat

Saya tidak meragukan kemampuan seorang Bang Herman yang asli Bugis dalam melaut, apalagi jika mengingat pendapat yang mengatakan kalau mereka adalah pelaut terbaik di dunia. Merasa beruntung bisa bertemu dengan seorang kapten kapal dari Bugis yang unggul di laut, saya kemudian menemukan fakta lain bahwa Bang Herman juga tangguh di darat.

Ketangguhan Bang Herman di darat terlihat jelas saat dia menaiki bukit tertinggi di Pulau Padar. Saat itu, matahari sedang berada tepat di atas kepala kami. Meskipun bukitnya tidak terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar setengah jam pendakian, namun udara yang panas seakan menambah ketinggian bukit itu menjadi dua kali lipat.

Kami pun merasa kelelahan di tengah perjalanan, sementara Bang Herman masih melangkah mantap. Kami yang sudah menyerah hanya karena sekali naik turun Pulau Padar terkagum-kagum ketika Bang Herman dengan meyakinkan berkata kalau dia bisa saja naik turun di Pulau Padar sampai sepuluh kali tanpa merasa lelah.

Bang Herman (paling kanan dengan baju abu-abu), kapten kami yang hobi bercerita

Bang Herman juga gemar bercerita tentang para tamu yang dia pandu. Mulai dari wisatawan lokal yang kebanyakan tidak terlalu merepotkan, sampai seorang turis asal Malaysia yang pernah marah-marah memaki petugas penjaga di Pulau Komodo karena menolak membayar biaya kunjungan. Pernah pula ada seorang turis asal Belanda yang tiba-tiba bertengkar dengan istrinya yang berkebangsaan Indonesia. Saking marahnya, si turis Belanda ini melempar sebongkah batu ke kepala istrinya. Untung Bang Herman dan beberapa orang dari kapal lain sigap menghalangi pertikaian itu dan langsung membawa sang suami ke kantor polisi di Labuan Bajo.

Yang menarik, dari kisah-kisah yang dia ceritakan, tak pernah sekali pun terlontar keluhan mengenai kehidupannya. Semua dijalani dengan bahagia. Bang Herman terlihat sangat menikmati pekerjaannya.

Meskipun kapal miliknya tidak semewah beberapa kapal lainnya, Bang Herman tetap menawarkan kehangatan yang mungkin tidak saya temukan jika kami bersama kapten kapal yang lain. Bang Herman malah sempat bercanda ketika saya bertanya, bisakah kapal yang kami naiki ini dibuat bertingkat dua seperti kapal di sebelah kami yang terlihat lebih mewah.

Dia menjawab, “Semua bisa, Mbak. Asal punya uang. Hehehe.”

Jawaban itu bagi saya menandakan kalau hidup dia memang tidak bergelimang harta, tapi dia tidak mengeluh dan merasa bahwa kesederhanaan yang dia miliki sekarang sudah cukup.

Di hari terakihir perjalanan kami, entah kenapa saya merasa sedih harus berpisah dengan kapal kami dan kaptennya yang ramah, meskipun ketika pertama kali bertemu, kami sempat takut melihat wajahnya. Bang Herman sekali lagi membuat saya belajar sebuah peribahasa yang populer agar kita tidak buru-buru membentuk prasangka: don’t judge the book by its cover.

Terima kasih atas pengalamannya, kapten!

Komentar