Manchester, Bukan Hanya Sekedar Kuliah (6): Kuliah International Development di Manchester
Setelah lama absen di belantika blog, saya kembali ingin bercerita soal hikmah kuliah di Manchester. Meskipun sekarang saya sudah kembali ke tanah air mengingat rasa rindu terhadap cilok dan nasi padang sudah teramat besar, kuliah di Manchester ternyata ngangenin juga loh. Bagi saya, masa-masa paling indah memang masa-masa kuliah, baik S1 maupun S2, karena kalau sudah kerja, kita sudah punya tanggung jawab lebih besar untuk meminimalisasi atau bahkan meniadakan kesalahan. Kalau pas kuliah mungkin kesalahan hanya diganjar dengan nilai jelek, tapi kalau sudah bekerja, hmm gawat jugaaaa.. saya dulu sering diwanti-wanti sama bos supaya tidak salah masukin data untuk paparan menteri. KAN GAWAT.
Jika di serial sebelumnya saya banyak bercerita tentang hikmah kehidupan, kali ini saya akan bercerita tentang si kuliah itu sendiri. Kebanyakan orang mungkin melihat kami yang kuliah di luar negeri ini bahagia dengan segala macam foto kegiatan di negeri orang lewat media sosial, padahal di balik itu semua tersimpan kegalauan akut akan susahnya menimba ilmu di negeri orang.
Saya mengambil jurusan MSc. International Development karena dari lahir (ini sih lebay) saya suka menganalisis isu-isu pembangunan. Sempat kecemplung di ilmu ekonomi yang penuh matematika dan statistika di S1, saya tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dengan memutuskan mengambil jurusan yang lebih sosial. Saya mengambil fokus Environment, Climate Change, and Development simply karena saya senang main di alam. LOL. Jadi ceritanya saya mau menggabungkan antara pendidikan dan passion.
Perkuliahan yang mengesankan
Jurusan saya termasuk di dalam School of Environment, Education, and Development di University of Manchester yang kabarnya merupakan salah satu sekolah studi pembangunan terbaik di dunia. Mata kuliah di sini tidak sebanyak waktu S1, di setiap semester, mahasiswa hanya mengambil 4 mata kuliah yang masing-masing berbobot 15 credits alias SKS. Eits, jangan bahagia dulu, walaupun hanya 4 mata kuliah, satu semester yang kurang lebih hanya berjangka waktu 4 bulan sudah cukup membuat kami ngos-ngosan. Konon sih program saya merupakan salah satu yang paling berat karena saat yang lain masih bisa bahagia, kami sudah mendapatkan tugas menulis esai. Soal si esai ini nanti akan saya bahas setelah pesan-pesan berikut.
Selain esai, kehidupan perkuliahan yang isinya kira-kira 10 kali pertemuan itu juga dipenuhi dengan yang namanya tutorial dan seminar. Nah si tutorial atau kadang juga disebut seminar ini juga salah satu momok buat para mahasiswa karena sifatnya yang student-led discussion. Supaya ga malu-maluin biasanya kita mau ga mau harus baca materi sebanyak mungkin sebelum tutorial (biasanya sudah disiapkan di dalam reading lists) dan mencatat beberapa poin yang ingin kita paparkan saat tutorial.
Bentuk dari tutorial ini bisa debat, presentasi, diskusi, tanya jawab, role playing, games, atau apapun tergantung dari kreativitas si tutornya. Sesi tutorial biasanya tidak berlangsung setiap minggu, namun hanya setiap dua minggu sekali, dan ada kurang lebih empat sesi tutorial untuk setiap mata kuliah. Yang kadang bikin sakit hati ya, meskipun membutuhkan persiapan yang matang, kegiatan di dalam tutorial ini tidak dinilai. Jadi kita beneran dipaksa untuk belajar supaya bisa diskusi dan berpendapat, bukan hanya sekedar dapat nilai. Kedengarannya menarik bukan? Tapi sesungguhnya jika boleh jujur, tidak ada seorang pun dari kami yang menyukai tutorial. LOL.
Di semester 1, ada satu mata kuliah wajib yang harus diambil oleh semua mahasiwa International Development dengan sub jurusan apapun, yaitu Development Fundamentals. Di samping itu, ada satu mata kuliah wajib untuk setiap sub jurusan. Misal untuk sub jurusan saya, kami harus mengambil mata kuliah Environment, Climate Change, and Development. Satu mata kuliah lain merupakan optional core course unit, mata kuliah ini wajib diambil jika kita tidak mau mengambil optional core course unit yang ada di semester dua. Contohnya untuk jurusan saya, optional core course unit untuk semester 1 adalah mata kuliah Environmental Economics dan untuk semester dua adalah Climate Change and Disaster Response. Kami bisa mengambil kedua mata kuliah itu atau memilih salah satu saja. Saya memutuskan untuk mengambil mata kuliah Environmental Economics dan tidak mengambil CCDR di semester berikutnya. Sisanya saya mengambil optional course unit, Poverty and Development yang menjadi mata kuliah wajib untuk mahasiswa sub jurusan Poverty.
Di semester 2, ada dua mata kuliah wajib yang harus kami ambil, yaitu Development Research dan Development Fieldwork yang pernah saya tulis di blog saya tentang perjalanan ke Uganda. Sisanya adalah mata kuliah pilihan. Karena saya tidak mengambil CCDR, saya lumayan bisa lebih bebas memilih mata kuliah di semester 2, walaupun jujur saja, saya tidak terlalu enjoy dengan pilihan mata kuliah yang ada di semester 2. Saya sudah yakin mengambil satu mata kuliah: Agriculture in Economic Development. Sementara satu mata kuliah lagi harus saya pertimbangkan matang-matang dan akhirnya terpilihlah Global Political Economy hanya karena alasan kuliah ini tidak bentrok dengan mata kuliah manapun. Hiks.
Sumber: buzzfeed.com |
Semua materi dari dosen akan di-upload setelah kuliah di dalam website bernama Blackboard yang super membantu perkuliahan kita. Yang berbeda mungkin adalah kebiasaan untuk mendadak diskusi di tengah kuliah. Misal nih, kita lagi bosan mendengarkan kuliah terus tiba-tiba slide menunjukkan sebuah pertanyaan seperti "Menurut Anda sejauh apa pihak swasta harus berperan dalam menjaga lingkungan?". Di sini kita diminta berdiskusi dengan teman di sebelah atau depan belakang untuk menjawab pertanyaan tadi. Tidak ada jawaban betul salah tapi kadang lumayan juga kaget kalau kita lagi ngantuk tidak fokus mendengarkan materi dan tiba-tiba dikasih pertanyaan. Ya Rabb, harus ngomong apa aneeee...
Yang menarik lagi, kita tidak hanya datang kuliah di gedung kampus school kita sendiri. Bisa jadi kuliah ini diselenggarakan di gedung A yang letaknya 20 menit dari kosan. Sementara kuliah selanjutnya ada di gedung B yang harus jalan menyeberangi Oxford Road sekitar lima menitan. Tidak heran di awal semester, semua orang akan sibuk mencari gedung dan ruangan kuliah dengan harapan tidak nyasar, salah masuk kelas, atau terlambat. Sejujurnya saya sangat menikmati kegiatan pindah-pindah building ini karena saya bisa merasakan suasana beberapa gedung di University of Manchester. Kalau saya bisa pilih building dengan tingkat ribet paling minta ampun, gedung itu pastilah Samuel Alexander. Saya pernah harus mencari kelas di situ dan berakhir pada tersasar selama 15 menit, mau nangis mencari pintu keluar yang tak kunjung ditemukan karena tahu sudah terlalu terlambat untuk masuk kelas, lalu saya memilih untuk pulang setelah berhasil keluar. Untung hanya workshop tambahan ~
Yang menarik lagi, kita tidak hanya datang kuliah di gedung kampus school kita sendiri. Bisa jadi kuliah ini diselenggarakan di gedung A yang letaknya 20 menit dari kosan. Sementara kuliah selanjutnya ada di gedung B yang harus jalan menyeberangi Oxford Road sekitar lima menitan. Tidak heran di awal semester, semua orang akan sibuk mencari gedung dan ruangan kuliah dengan harapan tidak nyasar, salah masuk kelas, atau terlambat. Sejujurnya saya sangat menikmati kegiatan pindah-pindah building ini karena saya bisa merasakan suasana beberapa gedung di University of Manchester. Kalau saya bisa pilih building dengan tingkat ribet paling minta ampun, gedung itu pastilah Samuel Alexander. Saya pernah harus mencari kelas di situ dan berakhir pada tersasar selama 15 menit, mau nangis mencari pintu keluar yang tak kunjung ditemukan karena tahu sudah terlalu terlambat untuk masuk kelas, lalu saya memilih untuk pulang setelah berhasil keluar. Untung hanya workshop tambahan ~
Namun, tidak ada yang lebih mengesankan ketimbang esai
Jika waktu S1 anak sosial biasanya kagum dengan mahasiswa teknik yang tugasnya banyak dan sering merelakan jam tidur mereka untuk mengerjakan tugas, entah kenapa saat S2 di UK ini saya merasa mahasiswa sosial lebih tidak punya waktu luang akibat terlalu banyaknya esai yang harus diproduksi. Semua mata kuliah menggunakan esai sebagai salah satu assessment-nya. Saya bilang semuanya loh ya. Semua mata kuliah (ini perlu diulang-ulang).
Yang sadis, ada beberapa mata kuliah yang 100 persen nilainya diambil dari satu esai yang kita tulis. Sementara mata kuliah lain biasanya lebih seimbang, ada dua esai yang harus ditulis dengan bobot nilai yang berbeda-beda. Ada juga mata kuliah yang esainya hanya bernilai 25 atau 30 persen sementara ada ujian yang bobot nilainya 70 atau 75 persen. Namun sepanjang kuliah S2 saya, hanya ada 2 kali ujian yang saya alami. Eh 3 kali ding, tapi itu terhitungnya bukan ujian, melainkan quiz setiap tiga minggu sekali.
Bentuk dari essay questions pun berbeda-beda, ada yang bentuknya critical review terhadap sebuah jurnal, seperti tugas pertama yang bikin kami semua kalang kabut karena baru pertama kali nulis esai. Ada juga essay questions yang bentuknya mencari strength and weakness dari sebuah kebijakan. Pernah juga saya menjawab essay questions yang bentuknya deskriptif, "Apakah yang dimaksud dengan 'ini'?" Namun, kebanyakan essay questions berbentuk analitis yang membutuhkan beberapa argumen untuk menjawabnya.
Kita juga bisa memilih essay questions mana yang ingin kita jawab. Jadi kita tidak perlu menjawab pertanyaan yang tidak kita suka. Haha. Kadang kelabilan terjadi di sini, sering kali kita menemukan kesulitan dalam menjawab sebuah essay question yang sudah kita pilih dan ingin berpaling ke pertanyaan lain. Nah di sinilah kesetiaan kita diuji, eh bukan, maksudnya di sinilah kemampuan kita untuk memutuskan sesuatu diuji. Jadi kalau bisa sekali pilih, jangan pindah ke hati yang lain. Syukurilah apa yang sudah kau punya. Loh ini ngomongin apa ya?
Kalau saya sih cuma pernah sekali ganti topik, itu pun saya belum sempat menulis sama sekali. Pas baca materinya saya langsung menyadari kalau pertanyaan yang saya pilih sulit dimengerti. Akhirnya saya memutuskan untuk ganti ke pertanyaan yang lain walaupun waktu untuk membaca materi sudah sangat sempit. Sesungguhnya saya dapat menyimpulkan sih kalau tidak ada pertanyaan esai yang mudah. Semua pertanyaan punya kadar kesulitan yang sama.
Dosen-dosen yang meminta kita menulis esai biasanya tidak lepas tangan begitu saja. Mereka tetap membantu dalam penulisan esai kita. Salah satu bentuknya adalah dengan mengadakan workshop penulisan esai. Biasanya kita bisa sekalian membedah pertanyaan esai, mengetahui hal-hal apa saja yang harus dan tidak perlu ditulis di dalam sebuah esai, serta mengkritisi contoh esai yang sudah ada. Mereka juga biasanya memberikan deadline pengiriman essay outline kita via email. Di dalam essay outline, mereka mengharapkan kita menulis argumen-argumen kunci yang ingin kita tulis di dalam esai dan mereka akan mengirimkan feedback untuk kita. Kadang feedback ini bikin down juga loh, karena menurut kita, apa yang sudah kita tulis tuh sudah merupakan hasil pemikiran yang sangat analitis padahal ternyata masih ada saja celanya. Jadi kalau baca feedback dari dosen, cobalah membuka hati. Kita bukannya salah, mereka hanya membantu kita untuk menjadi lebih baik lagi.
Selain itu, ada juga kelas tambahan untuk membantu mahasiswa internasional yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama dalam menulis. Namanya kelas in-sessional. Di sini kita bisa belajar menulis secara umum karena kita tidak hanya bertemu dengan teman-teman dari satu school tapi juga dengan teman-teman dari satu fakultas. Kelas ini tidak wajib dan tidak dinilai tapi mengingat manfaatnya yang besar, saya sih mencoba melawan rasa malas apalagi kemampuan bahasa Inggris saya ya cuma segitu aja. Selain itu, kita juga bisa minta jasa proofreader untuk membaca dan mengkoreksi grammar atau structure dari esai kita, tapi ini biasanya butuh waktu lama jadi kita harus selesai menulis sejak jauh-jauh hari dan yang paling penting, ini bayar. Nah kalau mau gratisan, khusus orang Indonesia, ada bala bantuan bernama Kemisan di mana kita bisa minta tolong mahasiswa PhD asal Indonesia untuk proofread esai kita.
Kalau ditanya rata-rata berapa kata yang perlu ditulis untuk sebuah esai, saya bisa jawab tergantung essay questions. Yang paling sedikit saya pernah menulis hanya 1500 kata dengan batas akhir dan batas bawah plus/minus sepuluh persen. Yang paling banyak saya pernah menulis 4000 kata dengan plus/minus sepuluh persen juga. Kebanyakan esai berkisar antara 2000-3000 kata. Sejujurnya menurut saya, esai yang jumlah katanya lebih banyak malah lebih mudah untuk dikerjakan karena kita tidak perlu repot-repot memilih argumen mana yang lebih penting daripada argumen yang lain. Tapi kenyataannya nilai esai saya yang jumlah katanya lebih sedikit malah lebih bagus daripada yang banyak. Mungkin karena saya ketahuan kebanyakan bacot kalau jumlah katanya terlalu panjang. LOL.
Saya sejujurnya kurang mengerti bagaimana bentuk penilaian esai dari para dosen karena kadang menurut saya esai itu kuat tapi menurut mereka tidak dan sebaliknya. Nilai 50 ke atas sudah merupakan batas aman kelulusan kita dalam sbeuah mata kuliah. Nilai 60 ke atas sudah diganjar predikat merit dan nilai 70 ke atas layak mendapatkan distinction. Tapi untuk mengejar nilai 60 ke atas saja, saya membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk membaca dan menyusun esai agar argumen dan tulisannya lebih hidup.
Karena begitu pentingnya esai, dan sepertinya hidup kami selalu dikejar-kejar esai, tidak heran teman-teman lain begitu pengertian kepada kami dengan tidak mengajak main atau tidak membebankan tugas organisasi kepada kami di saat deadline esai sudah semakin dekat. Biasanya di saat-saat menjelang deadline, hidup saya hanya berisi nulis esai, makan, sholat, mandi, tidur, dan nulis esai lagi. Bahkan saya pernah mengalami satu due date (tanggal 3 Mei 2016, saya masih ingat persisnya) untuk tiga buah esai! Namun, di saat yang lain ujian, kita para pejuang esai biasanya malah bisa jalan-jalan dan party hard. Hahaha.
Andai saja saya lebih pintar dari ini mungkin saya bisa menulis esai dan mengakhirnya sambil berkata ala Sisca Soewitomo, "Mudah bukan membuatnya?"
Yang sadis, ada beberapa mata kuliah yang 100 persen nilainya diambil dari satu esai yang kita tulis. Sementara mata kuliah lain biasanya lebih seimbang, ada dua esai yang harus ditulis dengan bobot nilai yang berbeda-beda. Ada juga mata kuliah yang esainya hanya bernilai 25 atau 30 persen sementara ada ujian yang bobot nilainya 70 atau 75 persen. Namun sepanjang kuliah S2 saya, hanya ada 2 kali ujian yang saya alami. Eh 3 kali ding, tapi itu terhitungnya bukan ujian, melainkan quiz setiap tiga minggu sekali.
Sumber: pinterest.com |
Kita juga bisa memilih essay questions mana yang ingin kita jawab. Jadi kita tidak perlu menjawab pertanyaan yang tidak kita suka. Haha. Kadang kelabilan terjadi di sini, sering kali kita menemukan kesulitan dalam menjawab sebuah essay question yang sudah kita pilih dan ingin berpaling ke pertanyaan lain. Nah di sinilah kesetiaan kita diuji, eh bukan, maksudnya di sinilah kemampuan kita untuk memutuskan sesuatu diuji. Jadi kalau bisa sekali pilih, jangan pindah ke hati yang lain. Syukurilah apa yang sudah kau punya. Loh ini ngomongin apa ya?
Kalau saya sih cuma pernah sekali ganti topik, itu pun saya belum sempat menulis sama sekali. Pas baca materinya saya langsung menyadari kalau pertanyaan yang saya pilih sulit dimengerti. Akhirnya saya memutuskan untuk ganti ke pertanyaan yang lain walaupun waktu untuk membaca materi sudah sangat sempit. Sesungguhnya saya dapat menyimpulkan sih kalau tidak ada pertanyaan esai yang mudah. Semua pertanyaan punya kadar kesulitan yang sama.
Sumber: funnyand.com |
Kalau ditanya rata-rata berapa kata yang perlu ditulis untuk sebuah esai, saya bisa jawab tergantung essay questions. Yang paling sedikit saya pernah menulis hanya 1500 kata dengan batas akhir dan batas bawah plus/minus sepuluh persen. Yang paling banyak saya pernah menulis 4000 kata dengan plus/minus sepuluh persen juga. Kebanyakan esai berkisar antara 2000-3000 kata. Sejujurnya menurut saya, esai yang jumlah katanya lebih banyak malah lebih mudah untuk dikerjakan karena kita tidak perlu repot-repot memilih argumen mana yang lebih penting daripada argumen yang lain. Tapi kenyataannya nilai esai saya yang jumlah katanya lebih sedikit malah lebih bagus daripada yang banyak. Mungkin karena saya ketahuan kebanyakan bacot kalau jumlah katanya terlalu panjang. LOL.
Sumber: quickmeme.com |
Andai saja saya lebih pintar dari ini mungkin saya bisa menulis esai dan mengakhirnya sambil berkata ala Sisca Soewitomo, "Mudah bukan membuatnya?"
Sumber: siscasoewitomo.com |
*Seri keenam dari "Manchester, Bukan Hanya Sekedar Kuliah".
Tulisan seri pertama bisa dilihat di Menjaga Sholat
Tulisan seri kedua bisa dilihat di Mempersiapkan Ramadhan
Tulisan seri ketiga bisa dilihat di Ramadhan Hari Ke-20 Di UK
Tulisan seri keempat bisa dilihat di Memaafkan
Tulisan seri kelima bisa dilihat di Catatan 10 Hari Menjadi "Refugee"
Tulisan seri keempat bisa dilihat di Memaafkan
Tulisan seri kelima bisa dilihat di Catatan 10 Hari Menjadi "Refugee"
Komentar
Posting Komentar