Manchester, Bukan Hanya Sekedar Kuliah (5): Catatan 10 Hari Menjadi "Refugee"

Saya sudah resmi angkat kaki dari akomodasi lama saya di Manchester Student Village sejak 27 Agustus 2016 yang lalu. Atas prinsip hidup prihatin demi masa depan yang lebih baik, saya memutuskan untuk tidak kontrak rumah lagi dan hidup nebeng di tempat teman-teman saya. Toh, saya juga akan menghabiskan waktu selama tiga minggu di Eropa jadi keberadaan rumah nampaknya kurang penting untuk saat ini.

Suasana kamar terakhir saya di MSV, jadi ceritanya saya sempat pindah kamar karena kamar saya yang lama direnovasi

Saya menamai diri saya sebagai refugee, kasar memang menjadikan kata ini sebagai bahan candaan. Tapi mau bagaimana lagi, saya memang mengungsi karena rumah yang saya tiduri sepuluh hari belakangan ini bukanlah rumah yang saya bayar sewanya. Terima kasih banyak untuk kesediaannya menampung refugee ini kepada geng rumah Mariana Oktaviana Silaen di Haymarket Street dan geng rumah Agung Satriyadi Wibowo di Burlington Street. Ke depannya saya akan nebeng di rumah Devy Kartika Ratnasari di Ashfield Road. Sungguh sebuah kisah kehidupan yang panjang ~

Saya pikir kehidupan tanpa kamar pribadi akan berjalan mudah, tapi ternyata, hufth, sulit juga ya. Awalnya karena saya ekstrovert, saya merasa saya akan baik-baik saja walaupun harus terus-terusan berinteraksi dengan orang lain. Toh saya pernah KKN dua bulan dan tidur sekamar dengan teman. Ternyata sisi kemanusiaan saya juga butuh privasi untuk misal telpon Mama yang mulai protes karena saya belakangan jarang menelepon. Mau bagaimana, biasanya saya video call di kamar sambil guling-guling dan melakukan kegiatan yang memalukan. Kalau di kamar orang lain kan saya harus bertindak normal.

Teman-teman yang saya tumpangi sungguhlah sangat baik hati dan menyenangkan, namun masalahnya, saya tidak punya sense of belonging ke rumah mereka sehingga mau gimana pun juga, saya merasa saya tidak bisa 100 persen menjadi saya karena saya tidak sedang ada di rumah. Bahkan ketika teman kita super baik, kita makin tidak tega untuk semena-mena kan?

Pada sebuah detik ketika saya bangun tidur dan merasa ingin pulang saja ke Bogor, ke rumah orang tua saya, saya mengingat sesuatu.
Gimana rasanya coba kalau jadi refugees beneran?
Mereka terpaksa hijrah dari tempat tinggal-tempat tinggal mereka karena tidak ingin nyawa mereka melayang. Mereka tidak punya rumah dan tidak tahu harus tinggal di mana. Mungkin mereka tidak punya kawan karib yang baik hati seperti Mari atau Mas Agung yang bisa dijadikan tempat mengungsi. Mungkin mereka hidup tapi seakan mereka sudah tidak hidup lagi...
Atau mereka yang homeless beneran?
Mereka tidak punya atap untuk berteduh ketika hujan. Mereka tidak punya kasur dan bantal yang empuk. Jangankan kepikiran untuk punya privasi, kalau cari makan saja sulit.

Sumber: pinterest.com

Sungguh ternyata tempat tinggal adalah harta yang berharga. Mari sejenak bersyukur untuk kita yang masih punya tempat tinggal (dan semoga kita semua akan sama-sama tinggal di surga-Nya nanti).

*Seri kelima dari "Manchester, Bukan Hanya Sekedar Kuliah". 
Tulisan seri pertama bisa dilihat di Menjaga Sholat
Tulisan seri kedua bisa dilihat di Mempersiapkan Ramadhan
Tulisan seri ketiga bisa dilihat di Ramadhan Hari Ke-20 Di UK
Tulisan seri keempat bisa dilihat di Memaafkan

Komentar